
Kemarin, 6 Desember 2022 menjadi momen dukacita bagi seluruh rakyat Indonesia di penghujung tahun ini. Terdengar kabar bahwa rancangan undang-undang yang diisi pasal-pasal bermasalah telah disahkan begitu saja. Alih-alih menunda pembahasan dan pengesahannya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke 11, resmi mengesahkan RKUHP.
Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan dasar hukum pidana di Indonesia yang telah berlaku sejak tahun 1918. Mengingat bahwa KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda, terdapat berbagai ketentuan dalam KUHP yang lekat dengan watak dan sifat bangsa penjajah terdahulu, sehingga dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana di Indonesia. Maka dari itu, muncul gagasan tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibuat untuk membenahi sistem hukum pidana di Indonesia.
DPR serta Pemerintah pertama kali mengeluarkan draf RKUHP pada bulan Juli 2022. Akan tetapi, draf tersebut tidak juga memberikan gambaran dekolonialisasi seperti yang dicita-citakan oleh RKUHP. Sejalan dengan itu, RKUHP malah mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia (HAM) warga negara serta demokrasi.
Selama Juli – November 2022, berbagai elemen masyarakat telah menyuarakan penolakan atas pasal-pasal yang masih bermasalah dalam RKUHP. Selama itu pula, DPR dan Pemerintah berupaya melakukan sosialisasi mengenai RKUHP. Akan tetapi, sosialisasi tersebut ternyata hanya menjadi formalitas semata demi validasi adanya partisipasi publik palsu, mengingat baik Pemerintah maupun DPR tidak menampung kritik dan saran yang diberikan oleh elemen masyarakat untuk menghapus pasal-pasal bermasalah.
Berbagai elemen masyarakat termasuk buruh dan mahasiswa telah melakukan beragam aksi dengan tujuan peninjauan kembali RKUHP tersebut sebelum disahkan. Meski penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut telah datang silih berganti dan dilakukan berulang kali oleh berbagai elemen masyarakat secara masif dan konsisten, Pemerintah tidak menggubrisnya. DPR RI justru bergegas mengesahkan RKUHP yang masih bermasalah.
Dari sudut pandang penulis, terdapat beberapa pasal bermasalah (atau setidaknya berpotensi bermasalah) yang seharusnya dapat ditinjau terlebih dahulu dengan lebih mendengarkan partisipasi publik. Mengapa suara masyarakat perlu didengar? Alasannya jelas, karena masyarakatlah yang paling terancam dengan kehadiran Undang-Undang bermasalah ini.
Mari kita bahas sedikit beberapa pasalnya. Terdapat peraturan terkait Unjuk Rasa yang dapat berujung tindakan pidana. Pasal 256 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Ketentuan serupa sejatinya telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998), di mana penyampaian pendapat di muka umum harus didahului pemberitahuan terlebih dahulu dan sekiranya ketentuan tersebut tidak terpenuhi, terdapat sanksi administratif berupa pembubaran.
Namun, Pasal 256 RKUHP justru kini menghadirkan sanksi yang lebih berat terhadap perbuatan yang sama, yakni pidana penjara atau denda. Selain itu, Pasal 256 RKUHP juga memuat unsur karet yang tidak memiliki parameter konkret, yakni frasa “terganggunya kepentingan umum”. Kalimat ini dapat ditafsirkan sebagai tidak berfungsinya atau tidak dapat diaksesnya pelayanan publik akibat kerusakan yang timbul dari pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi. Namun, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana pelayanan publik dapat dikatakan “tidak berfungsi” atau “tidak dapat diakses” serta bagaimana bentuk kerusakan yang dimaksud sehingga timbul ketidakpastian hukum yang dapat disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
Kemudian, terdapat juga pasal yang dibuat untuk melindungi “kesucian” perangkat negara. Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan serupa sejatinya pernah diatur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tentang penghinaan Presiden dan/atau Wakil Presiden, di mana ketiga pasal tersebut telah diputus tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena:
1. Bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum karena memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi kepada suatu individu yang memegang jabatan;
2. Menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak dilengkapi dengan parameter penghinaan yang konkret; dan
3. Mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara.
Lebih lanjut, Putusan MK tersebut juga mengamanatkan bahwa pasal-pasal yang memuat ketentuan sama atau serupa tidak dapat dimuat kembali dalam RKUHP. Namun, RKUHP justru mengabaikan Putusan MK tersebut dengan menghidupkan kembali pasal-pasal yang membawa semangat dan permasalahan yang sama. Maka dari itu, keberadaan Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP merupakan suatu kemunduran serta bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK.
Lalu, masih ada pasal lainnya yang semakin memberangus hak berpendapat serta berdemokrasi bagi warga negara. Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang di muka umum yang menghina pemerintah atau lembaga negara, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui sarana teknologi informasi.
Ketentuan terkait penghinaan terhadap pemerintah sejatinya pernah diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang ditetapkan inkonstitusional oleh MK dalam Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 karena tidak berdasar kepada asas kepastian hukum dan menghalang-halangi hak kebebasan berpendapat.
Alih-alih berkaca dari permasalahan dalam KUHP yang lama, rumusan serupa justru dihidupkan kembali melalui Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP, di mana pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah diadopsi kembali, tetapi kini digabung dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara. Kedua pasal tersebut mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan menimbulkan ketidakpastian hukum akibat tidak adanya parameter yang jelas terkait penghinaan. Selain itu, ketentuan demikian juga berpotensi membuat pemerintah dan lembaga negara antikritik karena terdapat ketentuan yang melindunginya dari penghinaan tanpa parameter yang jelas.
Pasal 240 ayat (2) dan Pasal 241 ayat (2) RKUHP juga mengatur bahwa sanksi pidana diperberat apabila tindak pidana yang dilakukan mengakibatkan terjadinya kerusuhan. Akan tetapi, tidak ada parameter yang konkret mengenai kerusuhan tersebut, di mana kerusuhan menurut pasal yang berbeda dalam RKUHP, yakni Pasal 190 ayat (2) RKUHP, ialah kondisi yang menimbulkan kekerasan terhadap orang atau barang yang dilakukan oleh paling sedikit 3 (tiga) orang. Parameter tersebut sejatinya menimbulkan permasalahan baru karena ambang batas suatu tindakan dapat dikatakan sebagai kerusuhan sangatlah rendah, yakni dilakukan oleh 3 (tiga) orang. Hal ini berpotensi menimbulkan unsur karet yang rawan digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara.
Rumusan Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP juga merupakan kemunduran dari draf RKUHP yang sebelumnya. Pada draf 9 November 2022, Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP merupakan delik materiil, di mana seseorang baru dapat dipidana apabila telah terbukti mengakibatkan kerusuhan. Akan tetapi, pada draf RKUHP yang disahkan, Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 241 ayat (1) RKUHP kembali menjadi delik formil, di mana siapa pun yang dinilai telah menghina pemerintah atau lembaga negara, meski tidak mengakibatkan kerusuhan, tetap dapat dijerat oleh pasal ini sehingga unsur “mengakibatkan kerusuhan” hanya menjadi pemberat pidana.
Segelintir contoh yang telah penulis uraikan di atas hanya sebagian dari banyak pasal-pasal bermasalah yang terus dikritisi oleh berbagai pihak. Pada hakikatnya, KUHP saat ini sudah berlaku lebih dari satu abad, yakni sejak tahun 1918. Berkaca dari hal tersebut, RKUHP dapat dikatakan sebagai investasi jangka panjang yang tergolong krusial karena dapat menjadi dasar hukum pidana di Indonesia hingga ratusan tahun ke depan. Hal ini menunjukan bahwa pengesahan RKUHP yang dilakukan pada 6 Desember 2022 lalu bukan langkah yang tepat mengingat KUHP sebagai sumber hukum pidana di Indonesia tidak dapat disahkan dengan sewenang-wenang dan terburu-buru dengan adanya permasalahan di dalamnya.
RKUHP pun masih mengandung berbagai substansi bermasalah yang berpotensi merugikan masyarakat dan merenggut HAM masyarakat di kemudian hari. Padahal, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR RI memastikan bahwa RKUHP tidak lagi mengandung substansi bermasalah yang sama saja, atau bahkan lebih buruk, daripada KUHP yang berlaku saat ini.
Dari proses dan perjalanan panjang pembahasan RKUHP, kini semua sudah paripurna. Ketika pimpinan rapat kemarin mengetok palu, sejatinya Indonesia sudah memulai sejarah baru. Sayangnya, sejarah yang dikhawatirkan melenceng jauh dari harapan publik. Sejarah yang tidak ditulis menggunakan tinta aspirasi rakyat.
Permasalahan dasarnya dapat dilihat dengan nyata. Keberadaan publik bagaikan partisipasi semu. Masyarakat dihadirkan, tapi tak didengar. Banyak elemen warga negara yang menentang, tetapi pemerintah tetap abai.
Lalu sebenarnya kita ini apa? Saya siapa? Anda siapa?
Pada akhirnya kita semua disatukan dalam golongan masyarakat yang takut haknya diberangus dan diringkus sewaktu-waktu. Pada akhirnya kebebasan berpendapat bisa jadi hanya akan menjadi cerita kuno yang lambat laun menjadi usang. Bisa jadi, rezim negara akan menggunakan segala perangkat pemerintahan untuk melanggengkan otoritarianisme. Ya, bisa jadi semua mimpi buruk kita menjadi kenyataan.
Lantas, sampai kapan kita harus terus ditindas?
(Perspektif)
Opini ditulis oleh Abi Rafdi Nst, Ketua Umum BEM FEB USK 2022