Darussalam – Hari Kemerdekaan Indonesia adalah momen yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah bangsa ini, di mana Indonesia akhirnya meraih kedaulatannya sendiri. Namun, sedikit yang menyadari bahwa momentum bersejarah terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 ini bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H, di pertengahan bulan suci puasa bagi umat Islam. Dimana pada malam harinya para perumus teks proklamasi termasuk Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta harus sahur dengan nasi goreng dengan lauk telur dadar hingga ikan sarden seadanya.
Hal ini bermula ketika Soekarno merencanakan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, ia didatangi oleh perwakilan kelompok pemuda, yaitu Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana. Mereka menyampaikan kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu, sehingga Indonesia perlu segera mengumumkan kemerdekaannya. Dengan sikap tenang dan penuh pertimbangan, Soekarno menyatakan bahwa dalam peperangan dan revolusi, hal yang paling penting adalah menunggu waktu yang tepat.
Saat itu, Hatta sedang menyiapkan pidato kemerdekaan yang akan dibagikan kepada anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hatta kemudian diajak untuk datang ke kediaman Bung Karno guna persiapan rapat PPKI.
Wikana kemudian maju dengan tatapan tajam, menyampaikan dengan nada keras, “Apabila Bung Karno tidak mengumumkan kemerdekaan malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.”
Tidak kalah, Bung Karno yang saat itu sedang menderita malaria, dengan wajah merah padam, menantang dengan mengatakan, “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”
Pukul 3 pagi 16 Agustus 1945 Para pemuda mendatangi kediaman Bung Karno. Chaerul Saleh dan beberapa pemuda masuk dengan diam-diam, berpakaian seragam Pembela Tanah Air (PETA).
“Berpakaianlah Bung. Sudah tiba saatnya,” ujar salah seorang pemuda.
Pemuda lain menambahkan, “Kami akan melarikan Bung keluar kota. Kami telah memutuskan untuk membawa Bung ke tempat yang aman.” Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 merupakan aksi yang dilakukan oleh golongan muda di bawah pimpinan Chairul Saleh dengan menculik Soekarno dan Hatta sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan. Mereka akhirnya dijemput oleh M Soebardjo.
Setelah tiba di Jakarta, Soekarno dan Hatta mengadakan rapat di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan pada 17 Agustus 1945. Para perumus proklamasi dan Hatta sahur di rumah Admiral Maeda, disuguhkan nasi goreng dengan lauk telur dadar dan ikan sarden yang disiapkan oleh Satsuki Mishima, asisten rumah tangga Maeda. Rapat yang berlangsung semalaman itu akhirnya selesai pada hari ke-9 Ramadhan pukul 03.00 WIB tahun 1364 Hijriyah. Teks proklamasi selesai dibuat dan langsung diketik oleh Sayuti Melik dengan mesin ketik di Konsulat Jerman dekat rumah Maeda pada saat sahur. Namun sayangnya, mesin ketik di sana menggunakan huruf hiragana buatan Jerman.
Mishima mengambil inisiatif dengan menembus udara dingin menjelang subuh di Menteng dengan jeep-nya. Ia pergi ke kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Gedung Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) di Jalan Medan Merdeka Timur. Di sana, ia meminjam mesin ketik hitam besar buatan Jerman milik Mayor Laut Hermann Kandeler.
Setelah naskah proklamasi dirapikan untuk ditunjukkan kepada Soekarno, terjadi sedikit perdebatan antara Soekarno dan Sukarni. Sukarni, yang juga hadir sebagai saksi mewakili golongan muda, ingin pembacaan proklamasi dilakukan di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA) agar rakyat Jakarta dapat menyaksikan momen bersejarah itu. Namun, Soekarno menolak karena tempat tersebut masih diduduki tentara Jepang dan ia tidak ingin memicu insiden.
Dengan tegas, Soekarno menolak usulan tersebut dan menetapkan bahwa pembacaan proklamasi akan dilakukan di halaman depan rumah di Pegangsaan Timur nomor 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi.
“Pekarangan depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita mencari masalah?” ujar Bung Karno dengan mantap.
Hingga 17 Agustus 1945 pukul 10.00, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriyah, detik-detik bersejarah pun tiba. Soekarno dan Mohammad Hatta bersama-sama membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, menggema di udara yang sarat harapan dan semangat juang. Saat itulah, bendera merah putih yang dijahit dengan penuh cinta oleh Ibu Fatmawati dikibarkan, mengibarkan cita-cita dan tekad bangsa Indonesia.
Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan sederhana tanpa mengikuti protokol yang rumit. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dan kesederhanaan adalah kunci dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Momen bersejarah kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada bulan ramadhan mengandung faedah dan hikmah yang mendalam. Perjuangan dan kesabaran yang ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan saat itu mengajarkan kita akan pentingnya menunggu waktu yang tepat dalam menghadapi tantangan hidup.
Dengan kekuatan iman dan tekad yang bulat, Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, menunjukkan bahwa rahmat Allah senantiasa turun kepada mereka yang sabar dan tekun dalam berjuang. Semangat dan kesederhanaan yang diperlihatkan oleh para pejuang kemerdekaan mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati tidak hanya diperoleh melalui kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan spiritual yang datang dari rahmat Allah SWT.
Sebagai bangsa yang merdeka, mari kita terus mengambil hikmah dan pelajaran dari perjuangan para pendahulu kita. Semoga Indonesia selalu menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, dan sejahtera, serta senantiasa mendapatkan rahmat dan petunjuk dari Allah SWT.
(Perspektif/Ayu Nazira & Nur Syarifah)
Editor: zaidanshadiqR