Berita

Akhir dari Pergolakan, Aklamasi Kini Menjadi Pilihan

×

Akhir dari Pergolakan, Aklamasi Kini Menjadi Pilihan

Sebarkan artikel ini
Desain: Akmalia Putri

Darussalam – Problematika kampus kuning terkait Pemilihan Raya (Pemira) nampaknya masih terus berkesinambungan hingga saat ini. Pemira yang digadang-gadang akan terwujud melalui jalur demokrasi kini gelagatnya kian meredup. Keterbatasan waktulah yang memaksa agar keputusan segera beringsut menuju kata siap. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor  1379/UN11/KM.05.03/2023, jika sampai melewati bulan Maret 2023 masih belum juga terendus calon-calon demokrasi, maka penunjukan ketua BEM dan DPM akan langsung diwakili oleh Wakil Dekan (WD) III selaku pemangku kebijakan terkait masalah ini. Menengadah pada ketetapan yang telah disebarkan, layaknya dapat menjadi tanda tanya. Siapa tuan rumah sebenarnya yang menjadi penentu gawang akhir permasalahan ini?

Khalayak tak henti-hentinya dibuat bingung oleh birokrat dengan polemik yang tak kunjung usai. Keputusan secara sepihak dari petinggi kampus dirasa cukup skeptis, karena menolak aklamasi yang digaungkan mahasiswa. Namun, di lain sisi surat keputusan mengartikan aklamasi justru hadir dari pemangku kebijakan itu sendiri. Kembali bersender pada secarik surat, nyatanya polemik ini tak juga berpaut pada mufakat.

Di tengah teka-teki birokrasi yang menjadi kontroversi, para himpunan akhirnya bangkit berkocar-kacir memperdebatkan tentang keputusan ini. Ketetapan yang tidak sejalan dengan demokrasi yang semestinya hadir kerapkali menjadi alasan di balik penentangan yang terjadi. Penetapan kepengurusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) sebenarnya bisa saja langsung disahkan, apalagi jika kita menilik pelakunya sendiri dari seseorang yang bersinggasana tinggi. Namun, bagaimana akan tercipta sebuah kepemimpinanan yang demokratis ke depan, bila dalam penyelenggaraannya saja aspirasi rakyat kampus tak cukup didengar?

Merasa aspirasi tak didengar, serta itikad baik untuk berkabar belum kunjung terlaksana, menjadikan seluruh rakyat kampus mulai terang-terangan menggencarkan aksi nyata penolakan terhadap ketentuan yang diedarkan. Setiap himpunan ikut turut serta dalam aksi ini, menandakan bunyi sirine perlawanan telah digaungkan. Aksi ini kerap dilakukan secara serempak dengan menyebarkan selebaran coretan berisi petisi penolakan yang menjalar hingga ke media sosial. Apabila sang pemangku kebijakan tetap bersikukuh menjalankan keputusan sepihaknya, tidak menutup kemungkinan jika resiko yang dihadapi kedepannya ialah penghentian program kegiatan yang dilakukan oleh para organisasi mahasiswa (ormawa) sebagai bentuk penolakan atas hal tersebut. Penegasan dari dua himpunan di FEB turut menjadi ancaman yang mengkhawatirkan, sebab penghentian kegiatan dari para mahasiswa tentu akan berdampak besar bagi kemaslahatan fakultas bila ditilik bahwa mahasiswalah yang menjadi pion utama dalam menghidupkan universitas.

Dampak dari keterlambatan pelantikan sebenarnya sudah mulai dirasakan semenjak dari ketiadaan rapat koordinasi, yang kemudian menyulut kepada bentrokan waktu kegiatan antar ormawa. Kesulitan ormawa dalam merealisasikan agendanya inilah yang kemudian menjadi cekcok  masalah berkesinambungan dengan masalah pelantikan.

Menurut pandangan dari salah satu himpunan, sudah semestinya pergerakan politik ini diberikan otonomi seluas-luasnya kepada mahasiswa sebagai pelaksana kegiatan institusi. Mahasiswa yang merasakan, mahasiswa yang menjalankan, sudah sepatutnya mahasiswa pula yang menentukan. Pejabat kampus cukup memberikan dukungan dan dorongan, bukan terlibat terlalu dalam, apalagi memutuskan perkara sendirian. Tak ada jalan keluar lain, satu-satunya obat mujarab ialah komunikasi dan saling mendengarkan.

Rasa persatuan serta rasa senasib sepenanggungan sepertinya menghadirkan nasib baik kali ini. Terdengar kabar bahwa antara pemangku kebijakan dan mahasiswa akhirnya secara langsung mengadakan tatap muka untuk merundingkan persoalan ini lebih jauh. Hasil rembukan tersebut mencetuskan bahwa ormawa kampus selaku perwakilan para mahasiswa serta pejabat kampus telah setuju untuk diselenggarakannya aklamasi, dengan syarat kandidat yang akan naik kelak harus sesuai dan berdasarkan pertimbangan serta persetujuan dari perintis kebijakan. Kemudian, apakah jalan keluar ini sekiranya sudah selaras dengan arus demokrasi yang selama ini terus dikumandangkan?

Dari usulan diskusi tersebut, nampaknya kebebasan berpolitik belum juga sepenuhnya terjun ke tangan agen perubahan. Rajutan ekspektasi akan kedaulatan kini harus mengalah pada sang pencentus garis haluan. Meskipun begitu, melalui apapun caranya, semoga  perjamuan antara pemangku kebijakan serta dari pihak mahasiswa dapat segera merakit kesepakatan mutlak dengan melahirkan pemimpin yang layak dan amanah untuk kesejahteraan kampus kuning yang kita banggakan ini.

 (Perspektif / Sigma Amoba dan Platypus)