Darussalam – “Dia cantik banget ya. Putih, mulus, tinggi. Kalau aku mah gak ada apa–apanya.”
Seringkah kata-kata tersebut terlintas dari benak kita atau mungkin mendengarnya dari lingkungan sekitar? Sebenarnya bagaimana sih definisi “cantik” itu? Apakah harus memiliki kulit putih dulu untuk menjadi “cantik”? Lalu, jika tidak memiliki kulit putih apakah termasuk jelek?
Wanita sering kali disandingkan dengan kata cantik. Kata itu seperti tak lepas dari sejak dia dilahirkan. Banyak orang yang berpandangan bahwa cantik itu berarti karena penggunaan make up atau busana yang indah. Atau bahkan yang lebih ekstrem lagi, sebagian orang ada yang menganggap untuk menjadi cantik harus memenuhi beberapa kriteria yang biasa disebut dengan good looking.
“Cantik itu relatif. Bagi aku cantik, tetapi bagi orang lain belum tentu. Adanya standar kecantikan malah hanya merugikan banyak pihak saja. Standar ini jadinya menuntut orang-orang untuk mengikuti dan berusaha mencapai ekspektasi itu. Dengan perkembangan zaman, apalagi semakin toxic zamannya, standar kecantikan ini semakin parah. Lebih baik stop deh orang-orang untuk tetap pakai standar ini. You never know someone until you walk in their shoes.” Ujar Amira Chantika seorang Mahasiswi Farmasi USK 2019.
Pengelompokkan berdasarkan kriteria atau standar untukkecantikan tersebut membuat orang lupa bahwa sebenarnya cantik merupakan hal yang subjektif. Artinya, hal ini adalah persepsi pribadi masing-masing orang untuk menilai bagaimana yang bisa disebut cantik terlepas dari adanya standar tertentu yang ditetapkan. Karena cantik menurut kita belum tentu sama di mata orang lain. Namun, dengan timbulnya hal tersebut tersebut, memaksa orang lain untuk berpandangan bahwa menjadi cantik itu harus memenuhi suatu kriteria.
“Sebenarnya tidak ada definisi khusus, aturan, dan referensi absolut dari beauty standard ini. Itu hanya bagian dari selera individu atau suatu kelompok aja dan akan berubah sesuai selera tiap manusia. Jadi untuk apa terlalu mengikuti selera orang lain, ibaratnya kalian berdebat tentang “Mana yang lebih enak susu coklat atau susu vanilla?”, menurut lidah masing-masing akan berbeda jawabannya.” Ujar Khairunnisa Mahasiswi SITH-S ITB 2019.
Akan tetapi, akhir-akhir ini atau bahkan sudah dari lama sekali muncul akun-akun kampus yang khusus memposting foto-foto mahasiswi lalu dilabeli dengan kata cantik. Biasanya akun ini akan memposting foto mahasiswi yang dianggap cantik bagi admin, seharusnya tidak akan menjadi masalah karena itu murni dari pandangan adminnya pribadi. Namun,bagaimana menurut pandangan orang lain khususnya wanita mengenai adanya akun-akun ini?
“Menurut aku pribadi, akun seperti itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang ada malah pikiran kita akan ikut mengategorikan “cantik” dengan standar yang dibuat di balik akun kampus tersebut. Apalagi dengan jumlah followers yang segitu banyaknya mereka akan mudah mengotak-kotakan orang lain yang mana yang memenuhi kriteria cantik dan mana yang tidak,” ujar Silvia.
Umumnya, foto-foto wanita yang diposting memiliki beberapa kriteria dasar, seperti mulus, putih, dan ramping. Sehingga banyak masyarakat yang beranggapan bahwa cantik harus sesuai dengan hal tersebut. Mirisnya lagi, banyak sekali wanita-wanita di luar sana yang akhirnya berusaha untuk mencapai standar yang “tak masuk akal” tersebut tanpa mempertimbangkan perekonomian, serta kesehatan jiwa dan fisik.
Akun seperti ini hanya akan menimbulkan insecure untukwanita-wanita lainnya dan beranggapan “Oh jadi harus seperti ini ya agar terlihat cantik?,” padahal sebenarnya cantik tidak selalu tentang memenuhi standar. Tidak hanya itu, akun inipada akhirnya menimbulkan kesenjangan antar perempuan dan terciptanya kelompok-kelompok yang memenuhi standar maupun tidak.
“Harapan ke depannya lebih baik dihilangkan saja akun seperti ini dan mulai mem–posting terkait wanita-wanita yang berprestasi. Jadikan akunnya lebih ke woman account yang membahas semua hal tentang prestasi perempuan di kampus itu, pemberdayaan perempuan, intinya jadikan akun ini menjadi wadah bicara perempuan,” harap Amira Chantika Mahasiswi Farmasi USK 2019
Lalu bagaimana kita menghilangkan insecure dalam diri kita?
“Kalau dari segi religiusnya, Tuhan sudah menciptakan manusia sesempurna mungkin dan rupa manusia bukan tolok ukur kualitas manusia, jadi syukuri saja. Kalau dari aku pribadi, tidak perlu menyesuaikan diri dengan standar manusia. Memang beauty privilage does exist. Lebih baik upgrade diri kamu di bidang yang lain biar hidup kamu juga akhinya memiliki privilage.” Pesan Khairunnisa Mahasiswi SITH-S ITB 2019
Inti dari semua adalah terima diri kamu apa adanya. Jangan merendahkan dirimu sendiri hanya karena standar-standar yang diciptakan orang lain. Percaya akan dirimu. Know your worth. You’re beautiful just the way you are, i hope you know that. (Satia/Perspektif)