Darussalam – Bulan Ramadhan merupakan bulan suci yang sangat ditunggu oleh seluruh umat muslim di dunia. Bulan Ramadhan ialah bulan kesembilan pada penanggalan Hijriah dan sering disebut sebagai Sayyidul Suhul atau rajanya bulan. Pada bulan suci ini orang-orang diwajibkan untuk berpuasa, bahkan Allah akan melipatgandakan pahala kebajikan bagi orang yang mengerjakannya.
Di Bulan Ramadhan ini para mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) diwajibkan menjalani perkuliahan seperti biasanya dengan metode luring, namun efektifkah perkuliahan di Bulan Ramadhan ini?
Perkuliahan selama Ramadhan menimbulkan beberapa pro dan kontra dari kalangan mahasiswa. Bukan tanpa sebab, menjalani kegiatan seharian penuh tanpa diisi asupan makanan hingga kurang lebih 13 jam menjadikan mahasiswa dan dosen sering kelelahan. Terlebih lagi di situasi Banda Aceh saat ini dengan suhu yang mencapai 36,20C. Hal ini tentu saja akan mengurangi performa dalam menyerap pembelajaran di kelas.
Menanggapi hal ini, salah satu mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) USK turut memberikan argumennya terkait keefektifan belajar selama Bulan Ramadhan.
“Menurut saya perkuliahan di Bulan Ramadhan itu efektif, karna kita bisa mengisi waktu ketika berpuasa dengan kegiatan yang positif yaitu belajar,” imbuh Helma.
Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Regia. Menurutnya, perkuliahan selama Bulan Ramadhan tidak efektif karena kondisi tubuh yang tidak sekuat biasanya.
“Menurut saya setelah menjalani perkuliahan sebulan penuh di Bulan Ramadhan, sistem perkuliahannya sangat tidak efektif, dikarenakan kondisi tubuh yang tidak sekuat biasanya. Saat menjalankan puasa agak sulit untuk memahami perkuliahan dan kebanyakan dosen sering tidak masuk kelas lalu menggantinya dengan memberikan tugas,” imbuh Regia mahasiswa Ekonomi Pembangunan FEB USK.
Hingga sejauh ini, banyak terdengar keluhan dari mahasiswa terkait perkuliahan selama Bulan Ramadhan. Tak hanya di nilai kurang efektif, perkuliahan selama Ramadhan juga tak seaktif biasanya. Dari sisi mahasiswa maupun dosen juga dinilai kurang bersemangat dalam menjalani perkuliahan. Seringnya dosen mengganti jam perkuliahan membuat mahasiswa kewalahan membagi waktu. Terlebih bagi mahasiswa yang jarak tempuh dari rumah ke kampus terbilang cukup jauh, namun begitu tiba di kampus dosen memberikan instruksi untuk perkuliahan dilaksanakan secara daring. Hal ini jelas memunculkan keresahan tersendiri.
Rentetan jam ganti yang terus menggantung juga membuat mahasiswa jengkel. Jadwal yang sudah disiapkan dengan berbagai agenda lainnya harus berakhir kecewa karena jam ganti yang menghantui. Meski dikatakan jam ganti adalah kesepakatan bersama namun tidak selalu efektif untuk semua. Golongan minoritas yang tidak bisa pada hari yang telah ditentukan terpaksa gigit jari dan mengalah. Hal ini akan memunculkan kecamuk lainnya karena jika tidak berhadir maka absensi akan berkurang dan mempengaruhi nilai akhir nantinya. Lagi-lagi mahasiswa dibuat pusing. Bukankah hal ini seharusnya menjadi pertimbangan sejak awal jika memang ingin perkuliahan berjalan dengan maksimal dan efektif selama Ramadhan?.
Bicara keefektifan perkuliahan selama Ramadhan bukan hanya perihal jam ganti, namun bagaimana menemukan kesepakatan dan titik terang sehingga kedua belah pihak tidak merasa kurang diperhatikan. Menyikapi hal ini, sudah sepatutnya menjadi pertimbangan bagi para pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan mekanisme perkuliahan selama Ramadhan sebagai win-win solution untuk semua pihak agar pembelajaran dan ibadah selama Bulan Ramadhan dapat berjalan dengan seimbang.
(Perspektif/ Della)
Editor: Astri