BeritaNasionalOpini

Fenomena Shopping Addiction di Media Sosial yang Meningkat

×

Fenomena Shopping Addiction di Media Sosial yang Meningkat

Sebarkan artikel ini

Darussalam – Dorongan untuk berbelanja secara berlebihan adalah godaan terus-menerus bagi banyak orang. Parahnya lagi di masa pandemi COVID-19 memicu kecanduan berbelanja online. Pada era perkembangan teknologi modern saat ini, metode pemasaran pun menjadi bervariatif baik secara konvensional maupun dengan digital marketing atau sering disebut dengan Online Shop seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, Alibaba, Amazone, dan sejenisnya.

Hampir seluruh waktu yang dihabiskan dalam sehari adalah menjelajahi media sosial, sehingga menjadi mudah terprovokasi akan hal yang ditawarkan. Banyak konsumen akan termakan review  dari influencer yang membuat berbelanja secara implusif. Terlebih melihat gaya berpakaian, penggunaan makeup maupun skincare di media sosial.

Dikutip dari CNBC, Jumat (17/5/2019), sebanyak 49% generasi milenial dari rentang usia 23-38 tahun  menyatakan media sosial mempengaruhi mereka dalam membelanjakan uang untuk menikmati pengalaman. Hal ini berdasarkan survei bertajuk “2019 Modern Wealth” yang dilakukan oleh Schwab. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang generasi-generasi lainnya, yakni gen Z 44%, gen X 28%, dan gen baby boomers 16%.

Ini bukan kali pertama survei menyimpulkan bahwa media sosial mempengaruhi belanja. Pada 2018 lalu, menurut survei Allianz Life Insurance, sebanyak 57% generasi milenial dilaporkan belanja tanpa perencanaan dan hanya berdasarkan apa yang mereka lihat di media sosial.

Kebanyakan orang akrab dengan “belanja sebagai terapi”. Saat seseorang ingin menghilangkan rasa sedih atau pusing, mereka biasanya berbelanja untuk mendapatkan kesenangan, menghilangkan perasaan negatif, atau mengatasi stres.

Namun, berbeda dengan orang yang kecanduan belanja, mereka tidak hanya untuk mendapatkan keperluan yang dibutuhkan atau inginkan. Tetapi juga untuk memperbaiki suasana hati, mendapatkan pengakuan sosial, dan meningkatkan citra diri.

Selain itu, belanja berlebihan dapat berkontribusi pada timbulnya masalah keuangan yang pada gilirannya dapat memicu perasaan bersalah, kecemasan, dan depresi. Ketika individu mengandalkan belanja sebagai mekanisme  untuk mengatasi stres atau emosi negatif, mereka juga mungkin mengalami peningkatan resiko shopping addiction. Penting bagi seseorang untuk memahami motif belanja mereka, mengatur batasan dan mempraktikkan kebiasaan belanja yang sehat agar dapat menghindari dampak negatif yang mungkin timbul dari belanja berlebihan.

Namun kenyataannya hanya segelintir orang yang berbelanja online untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, selebihnya mengarah pada semacam konsumerisme yang bersumber dari gaya hidup hedonis. Sifat konsumerisme dapat memicu kecanduan belanja seseorang atau juga disebut Compulsive Buying Disorder yang mengarah pada keinginan atau hasrat tak terbendung untuk membeli barang secara berlebihan.

(Perspektif/Nisa Ul-Rahmi)

Editor: Astri Rahma Deyta