BeritaNasionalOpini

LITERASI DIGITAL: BEBAS BERSUARA TANPA HARUS MELANGGAR

×

LITERASI DIGITAL: BEBAS BERSUARA TANPA HARUS MELANGGAR

Sebarkan artikel ini

Latar Belakang

Saat ini, pesatnya kemajuan Teknologi Informasi (IT) dan Teknologi Komunikasi (TK)—paduan keduanya Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Kondisi ini menyisir seluruh golongan usia, baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki maupun perempuan. Sisi pembedanya hanyalah porsi kebutuhan atau kepentingan di antara mereka.

Berikut, antara lain merupakan manfaat TIK yang signifikan dalam berbagai kehidupan. TIK memungkinkan manusia berkomunikasi dengan sangat mudah dan cepat. TIK juga memiliki peran dalam proses pembelajaran yakni menjadikannya lebih menarik dan bervariasi. Di samping itu, TIK juga memungkinkan manusia dapat mengakses dengan cepat dan mudah berbagai informasi yang terjadi, tanpa harus dibatasi oleh jarak dan waktu. Tak heran jika ada sebuah pernyataan “dunia dalam genggaman”. Kiasan paling mudah dipahami sekaligus mewakilkan bagaimana cepat terpenuhinya kebutuhan informasi saat ini meskipun datang dari lintas benua sekalipun.

Ibarat pedang bermata dua, TIK juga memiliki dampak negatif bagi kehidupan manusia. Tidak jarang berujung pada terjadinya kecanduan terhadap penggunaan internet dan game yang berakibat negatif, terutama bagi kesehatan jiwa atau mental pelakunya. Bahkan, kemudahan dan kecepatan dalam mengakses informasi dimaksud, secara cepat pula informasi itu dibagikan atau disebar melalui media sosial dan internet kepada orang lain. Hanya saja, ternyata, informasi yang disebarkan itu seringkali tidak selalu benar, bahkan tidak jarang menyesatkan atau disengaja disebar untuk menyesatkan penerimanya.

Berbicara tentang jumlah pengguna internet di Indonesia, meminjam data hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2022-2023 mencapai 215,63 juta dari total populasi sebanyak 275,77 juta jiwa. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang salah satunya dipicu oleh kebutuhan masyarakat terhadap internet.

Sementara itu, peningkatan angka pelanggaran juga berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pengguna. Tercatat, jumlah laporan pelanggaran terhadap UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, terus meningkat setiap tahun. Sebut saja misalnya, tahun 2018 sebanyak 4.360 laporan, 2019 sebanyak 4.586 laporan, dan tahun 2020 sebanyak 4.790 laporan.

Dari angka di atas, apabila dipilah dari jenis pelanggaran yang dilaporkan ke kepolisian, kasus pencemaran nama baik masih mendominasi (tahun 2018 terdapat 1.258; 2019 terdapat 1.333, dan tahun 2020 sebanyak 1.794 laporan). Posisi kedua ditempati ujaran kebencian (2018 sebanyak 238; 2019 sebanyak 247; dan 2020 sebanyak 223 laporan). Posisi selanjutnya terkait informasi hoaks/kabar bohong (2018 sebanyak 60 kasus; 2019 sebanyak 97 kasus; dan 2020 sebanyak 197 kasus).

 

ISI

Urgensi Agama dan Literasi Digital bagi Masyarakat Modern

Kondisi tersebut sudah barang tentu merupakan masalah serius dan seharusnya tidak hanya sekedar dibaca dan pahami sebatas data atau informasi. Pelanggaran berupa pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan juga penyebaran informasi hoaks atau kabar bohong tentunya bukan masalah sepele yang patut untuk dipandang sebelah mata. Bersikap acuh tak acuh dalam merespon dan menyikapinya sama halnya dengan penuh kesadaran kita telah membuka pintu masuk dan memberikan jalan bagi masuknya sebuah sikap yang bernilai dan berimplikasi atas perpecahan bahkan hancurnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Faktor utama yang melatarbelakangi begitu maraknya pelanggaran terjadi karena belum dimiliki dan pahaminya budaya bermedia digital oleh mayoritas pengguna media sosial di Indonesia. Yakni, sebuah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membagikan informasi kepada pihak lain. Contoh kecil adalah memiliki kesadaran untuk menghentikan penyebaran informasi kepada orang apabila dapat menimbulkan kebencian, bahkan terusiknya ketentraman dan kedamaian di tengah masyarakat.

Informasi yang menyangkut sekaligus menyinggung Suku, Agama, dan Ras (SARA) juga berbenturan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak semestinya dikonsumsi mentah-mentah apalagi disebarluaskan. Namun sebaliknya, sajian informasi yang membangun serta membawa virus positif harus dimassifkan penyebaran, baik menyangkut jumlah penerima maupun isi/pesannya.

Terlebih kemudian informasi terkait SARA ini merupakan sebuah informasi yang dalam banyak kasus sengaja dimunculkan karena efek yang ditimbulkan sangat dahsyat. Jika efek negatif yang dikehendaki oleh produsennya, maka dapat dipastikan kebhinneka tunggal ika-an kita menjadi taruhannya. Dan jika hal ini terjadi, maka rahmat Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia yang seharusnya kita syukuri, justru kita berperilaku sebaliknya, menyia-nyiakan, merusaknya, dan menghancurkannya.

Memiliki kemampuan literasi digital dapat menyebabkan kita memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, memecahkan masalah (problem solver), berkomunikasi dengan lebih baik, serta berkolaborasi dengan banyak orang. Terlebih terdapat hak-hak digital yang harus dipegang teguh dalam bermedia sosial, yakni hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, dan menyebarluaskan media digital.

Sementara dalam perspektif agama (Islam) karakteristik literasi digital yang baik adalah selaras antara informasi yang diterima dengan nilai-nilai positif yang diharapkan atas disebarluaskannya informasi tersebut. Hal ini membutuhkan sikap sikap kritis dalam mencari, mencerna dan mengkombinasi, serta mengevaluasi informasi sebelum disebarluaskan kepada publik.

Konsep tersebut merujuk pada QS. Al-Muzammil: 4: “…dan bacalah alQur`an dengan perlahan-lahan (tartil)”. Perintah ini harus dipahami sebagai anjuran untuk membaca kata per kata serta ayat per ayat dengan lebih dalam (deep reading). Lantas ayat tersebut direnungi atau ditadabburi maknanya untuk ditemukan hikmah di baliknya. Ayat dalam konteks ini harus dimaknai secara luas dan komprehensif. Terlebih jika merujuk bahwasanya, ayat-ayat Allah SWT, terbagi atas dua kategori, ayat-ayat yang tersurat (Al-Qur’an) dan ayat-ayat yang tersirat (alam seisinya).

Dalam arti lain, pada sisi konteks sebagai individu beragama (dalam hal ini Islam), kita telah memiliki sikap kehati-hatian dalam kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali dalam hal memperlakukan sebuah informasi. Artinya, sebagai makhluk beragama kita sudah memiliki benteng yang kokoh sebagai landasan bersikap dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.

Sementara itu, sebagai warga negara setiap individu juga dituntut patuh dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan tentang bagaimana kebebasan berpendapat diekspresikan. Salah satunya, diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Undang-undang ini secara rinci dan detail menjelaskan tentang arti penting informasi, bagaimana memperlakukan informasi, dan dampak yang diterima akibat salah menempatkan informasi.

 

PENUTUP

Kemajuan ITE memiliki sisi positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian dan bertanggungjawab sangat dibutuhkan dalam memperlakukannya, terutama terkait bagaimana menyuarakan pendapat dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran atau penyalahgunaan media sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh kekurang-fahaman penggunanya menyangkut etika bermedia sosial.

Dalam konteks ini, agama sudah menegaskan secara tegas bahwa sikap kehatian-hatian dalam bersikap dan berperilaku sangat diharuskan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak terkecuali dalam memperlakukan ITK yang tidak mungkin ditinggalkan dalam kehidupan manusia modern. Pemerintah juga telah hadir dalam melindungi warga negaranya dari penyalahgunaan ITK yang dapat berdampak negatif bagi warga negaranya, bahkan eksistensi sebuah negara. Salah satunya, diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Keberadaan undang-undang ini sama sekali tidak dapat dimaknai bahwa pemerintah sengaja mengerangkeng kebebasan berpendapat warga negaranya. Namun justru sebaliknya, pemerintah telah hadir dalam melindungi seluruh warga negaranya dari perilaku jahat dan menyesatkan warga negaranya. Perilaku jahat dan menyesatkan tersebut, terutama ditimbulkan akibat penyalahgunaan ITK, khususnya media sosial. Terlebih kemudian, bukankah kebebasan kita sebagai individu dalam semua hal, dibatasi juga oleh kebebasan individu yang lain. Itu artinya, kebebasan kita bukanlah kebebasan yang tidak tak terbatas. Akhirnya, sebagai generasi muda marilah kita menjadi pelopor dan senantiasa mengkampanyekan perilaku mengekspresikan pendapat tanpa harus melanggar!

Diana Putri Maulida