Mahasiswa merupakan insan yang beraktivitas di kampus dan tidak terlepas dari aktivitas politik yang cenderung memiliki mentalitas layaknya kepiting (crab mentality). Artinya, mahasiswa dalam konteks ini direpresentasikan ibarat dalam sebuah kejadian kepiting yang dituang dalam keranjang yang sama dan apabila ada salah satu di antara mereka yang ingin keluar dari keranjang tersebut, maka kepiting lain akan menariknya. Begitupun halnya dalam konteks perpolitikan mahasiswa.
Praktik perpolitkan kampus cenderung menghalalkan segala cara dan biasanya mahasiswa akan senantiasa merebut baik itu kursi jabatan atau apapun itu yang bernuansa perhimpunan atau organisasi, termasuk itu intra maupun ekstra kampus. Dewasa ini kepiting ditampilkan ibarat mahasiswa karena beberapa sifat kepiting tidak jauh dari perangai atau sifat mahasiswa dalam berpolitik di kampus. Misalnya dalam pemilihan raya untuk memilih calon Lembaga Eksekutif, Legislatif maupun yudikatif kampus yang dalam budaya di beberapa kelompok mahasiswa haruslah dilaksanakan musyawarah sebelum pemilihan tersebut dilaksanakan.
Biasanya, musyawarah yang digelar oleh mahasiswa bersifat tertutup atau hanya mengikutsertakan orang-orang yang dianggap seideologi atau sealiran, sehingga ruang-ruang demokrasi terasa sangatlah sempit, ironinya lagi mahasiswa cenderung mengatasnamakan sebuah perkumpulan yang di dalamnya tidak hanya beberapa klan saja, namun ada juga klan lainnya tetapi tidak diikutsertakan. Terlepas daripada itu dalam praktiknya musyawarah yang digelar pastinya sering sekali terdapat kongkalikong di belakangnya.
Beberapa fenomena yang umumnya terjadi yaitu manuver dalam setiap konsolidasi, hal ini dipandang wajar dalam perpolitikan yang memang dipenuhi dengan segala strategi dan taktik. Dalam beberapa kejadian mahasiswa luput dari budaya dan nilai etik dalam berpolitik. Semuanya ingin mendapatkan yang setinggi-tingginya akan tetapi mendiskreditkan nilai etis. Nilai etis merupakan nilai yang seharusnya terdapat dalam setiap tindakan politik mahasiswa. Seperti misalnya komitmen yang memang dipandang sesuatu yang dianggap sangat skeptis dan seakan alergi dengan kalimat itu. Dikarenakan dalam beberapa kejadian, komitmen hanyalah sebatas kata yang tidak memiliki konsekuensi apabila terdapat wanprestasi di dalamnya.
Dalam sebuah konsolidasi misalnya, mahasiswa cenderung menentukan hasil sebelum suatu musyawarah dilaksanakan, artinya hasilnya sudah dapat dipastikan tidak akan bias dari pembahasan sebelum musyawarah digelar. Hal ini diistilahkan adanya musyawarah di dalam musyawarah itu sendiri. Mahasiswa cenderung saling sikut-menyikut dalam mempertahankan kepastian dalam hal pencalonan kelompoknya. Hal ini berakibat tidak sehatnya dalam menentukan koalisi atau gerbong dan bisa jadi berakibat buruk bagi kelompok tersebut.
Demikian halnya dengan analogi apabila sekumpulan kepiting ditempatkan dalam keranjang yang sama, diibaratkan mereka butuh kehidupan lainnya untuk keluar dari keranjang dan pabila ada seekor kepiting yang ingin keluar dari keranjang tersebut maka kepiting lain akan menariknya agar kepiting itu tidak bisa keluar dari keranjang tersebut. Begitupun dengan mahasiswa yang acap sekali bertindak bak kepiting dalam keranjang. Ketika ada orang yang dinilai mampu untuk memimpin dan keluar dari zona nyaman tersebut, maka mahasiswa atau kelompok akan menarik mahasiswa tersebut agar tidak bisa keluar untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
Kursi kepemimpinan kampus menjadi salah satu kunci bagi mahasiswa dalam menunjang karirnya pasca-kampus. Oleh karena itu tak heran banyak mahasiswa yang menghalalkan segala cara dalam memperebutkan kursi-kursi tersebut. Ketika mahasiswa bersaing antara satu pihak dengan pihak lain memanglah lumrah, akan tetapi menjadi sebuah anomali apabila tidak ada orang lain yang mencalonkan diri dalam sebuah musyawarah. Hal ini tentunya membuat mentalitas kepiting senantiasa melekat dalam sikap dan kebiasaan politik mahasiswa. Fenomena di atas menjadi sebuah alasan mengapa pentingnya eksistensi di dalam kampus menjadi layaknya gadis primadona yang selalu diperebutkan.
Dari fenomena-fenomena yang terjadi, muncullah sebuah pertanyaan “sampai kapankah mahasiswa akan terus seperti itu?”. Hal ini pasti akan mengkristalisasi apabila mata rantai mentalitas kepiting tidak diputuskan. Mentalitas Kepiting dalam perpolitikan mahasiswa haruslah dikikis perlahan agar tak menjadi kebiasaan yang nantinya akan menjadi sebuah budaya perpolitikan mahasiswa.
Politik mahasiswa haruslah dibangun dengan nilai ideal, objektif dan etis namun dalam tanda kutip tidak melulu dalam politik etis yang menjunjung tinggi balas budi tetapi mengenyampingkan keobjektifan. Syahdan, politik mahasiswa harus dihiasi dengan nilai integritas. Integritas merupakan permasalahan bangsa yang belum selesai. Nilai integritas haruslah terpatri dalam setiap sanubari mahasiswa, artinya mahasiswa harus berkarakter, berprinsip, jujur serta konsisten apabila dihadapkan dalam sebuah konsensus. Hati nurani merupakan objek yang sangat vital yang harus selalu digunakan dalam setiap tindakan.
Disamping itu, nilai sentimental haruslah diminimalisasi, karena mahasiswa merupakan insan akademis yang memang sifatnya intelektual. Sentimental dapat mengaburkan nilai-nilai keobjektifan yang dapat memengaruhi lebih besar setiap keputusan yang diambil, oleh karena itulah sifat sentimental sebaiknya dijauhkan dari perpolitikan mahasiswa. Perpolitikan mahasiswa juga hampir sarat dengan prinsip transaksional, transaksional ini sendiri berkonotasi negatif bagi mahasiswa, karena pada prinsipnya transaksional merupakan kausalitas antara take & give dan biasanya akan terikat dengan pihak ketiga, hal inilah yang membuat setiap pergerakan mahasiswa akan bermuara pada politisasi dan rentan ditunggangi oleh pihak lain.
Orientasi budaya perpolitikan mahasiswa harus bernuansa pada kemaslahatan bersama, bukan pada konsep materialistik dan egosentris. “Politik memanglah sampah, akan tetapi orang yang meninggalkan pertemanan dalam politik lebih daripada sampah”, kalimat itu menjadi klise, namun sangat menaruh harapan antara konvergensi politik dan pertemanan.
Demi mencegah menjalarnya virus yang seakan seperti psikopatologi bagi mahasiswa, haruslah dimulai dengan memutus mata rantai itu sendiri, dengan cara misalnya dengan beberapa organisasi mahasiswa yang bersifat kaderasi, mahasiswa baru haruslah ditempa mulai dari awal masuk perkuliahan. Anomali perangai mahasiswa dapat dicegah dengan membangun sikap altruisme, yaitu sikap legawa mau berkorban demikemaslahatan orang banyak, dan lebih banyak menaruh perhatian untuk orang lain dan minim untuk diri sendiri. Sikap-sikap seperti ini yang mestinya dibangun dalam budaya perpolitikan mahasiswa demi muwujudkan perpolitikan yang ideal.
Dan pada akhirnya merestorasi mahasiswa secara totalitas merupakan nihilisme, namun upaya tetap digalakkan dengan skema grassroot dan mahasiswa ke mahasiswa, demi mewujudkan perpolitkan kampus yang sehat dan ideal haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai integritas. Agar nantinya melahirkan budaya perpolitikan yang berkarakter demi menjaga fungsi mahasiswa sebagai agent of change. (T Muhammad Shandoya)