Darussalam – “Pendidikan bukan hanya kegiatan pengembangan kognitif anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan cinta dan keberanian. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut.” – Paulo Freire, Pedagogy Of The Oppressed.
Pendidikan menjadi penyangga abstraksi pikiran yang tak bisa dimaterialisasi. Hal ini semestinya tegak linear sebagai bentuk implikasi dari eksistensialis nilai (manusia) itu sendiri. Hal ini bukan mistifikasi semata. Melainkan fakta yang didasari atas fenomena pelanggengan kedunguan akut yang menjalar kuat di lini pendidikan. Berbagai batasan dihadirkan sebagai bentuk pengekangan yang dogmatis atas keberlangsungan pikiran yang pada hakikatnya tak bisa dibatasi.
Berbagai order-an sistem yang dibalut dengan nama kebijakan secara hierarki turun demi mencegat kemandirian berpikir dan berkembang, menyusupi rongga pendidikan melalui lembaga-lembaga penyokong pendidikan itu sendiri. Hingga melahirkan manusia-manusia yang menafsirkan pendidikan sebagai bagian materialis yang ambigu. Inilah ‘buah’ otoriterian sistem pendidikan saat ini.
Kita semua sadar atas kerancuan yang terjadi di tubuh pendidikan sekarang. Berbagai fenomena aktual hadir menyelimuti mimpi buruk akal sehat dalam berbagai bentuk; pengekangan, krisis moral, fundamental yang cacat, serta lahirnya kaum hipokritis yang berselimut dengan misi pencerdasan. Apakah pendidikan membatasi nilai objek terletak pada ‘sastra tunggal’ pendidik? Apakah pendidikan kita memupuk kecintaan terhadap kemanusiaan? Apakah pendidikan bisa membatasi lingkup kritik sehingga kedunguan kekuasaan tidak boleh disorot? Benarkah kita sedang dididik selayaknya dalam pendidikan, atau justru dilatih dengan krangkeng ketakutan? Lalu dibunuh dengan bekal sejengkal, bahwa etika pikiran tertanda petik pada jangka usia? Pembinaan hilang, pembungkaman dimulai!
Secara bersamaan, transisi nilai estetika di tubuh pendidik dan yang dididik semakin terbelenggu. Kita terjebak dengan konsep sistem yang kaku. Sehingga universitas, sebagai penunjang terbesar pendidikan dan pencerdasan hanya terpaku pada nilai transaksional yang semu. Dampaknya, pragmatisme menjadi pijakan mutlak dalam prosesnya. Maka, lahirlah pemangku tubuh yang hanya akan bergerak dengan sokongan transaksionalitas semata.
Pragmatis adalah racun populer yang diadopsi sebagai senjata ampuh dalam ‘citizen war’ oleh tentakel globalis yang tumbuh di badan kekuasaan. Sebagaimana yang disampaikan Noam Chomsky dalam bukunya Who Rules The World, bahwa perang kekuasaan sekarang tak lagi soal angkatan perang dengan amunisi, tapi justru dengan pemusnahaan estetika esensial di tubuh intelektual. Dapat dipastikan, ketika para intelektual dicacatkan dengan kerangkeng pikiran, maka kemusnahan sedang melambai mesra untuk peradaban. Sayangnya, kita juga bagian dari peradaban!
Lantas, inilah jawaban sekaligus pemantik kerancuan dan kekacauan berasal. Pola yang sama terus berulang dan diulang. Skema yang sempurna atas diksi menarik dari Robert Greene dalam l48 Power of law, “Musuh kekuasaan adalah kepintaran rakyat”. Kekuasaan yang menarik benang, menjadikan aktor di panggung pendidikan melakoni peran sebagai boneka yang tunduk pada dalang di balik layar. Bungkam adalah jawaban, sedangkan pembungkaman adalah jalan pintas mempertahankan kekuasaan.
Mahasiswa adalah muara mengalirnya kotoran-kotoran yang mencederai nalar. Akal yang semestinya memiliki kebebasan harus diinjak oleh kekuasaan yang menjadikan pendidikan sebagai instrumen penindasan. Pikiran dikotakkan dengan lingkup sebatas apa yang digariskan. Adapun kritik yang melampaui garis tersebut dianggap sebagai bentuk radikalisme yang harus dipadamkan. Sejak kapan berpikir memiliki batasan yang dibenturkan dengan norma kesopanan?
Keberanian yang diruntuhkan semakin menjadi persoalan yang tak terpecahkan. Kejahatan demi kejahatan tumbuh di lingkungan pendidikan dan sosial. Namun, kemana akal yang harusnya peka terhadap permasalahan yang terjadi? Dari peka menjadi pekak?
Munculnya golongan-golongan hipokritis yang mendalangi aksi sosial mahasiswa dalam gerakan berekspresi di negara semakin memperparah kerusakan akal sehat yang diberikan Tuhan. Jargon-jargon yang bergema seolah menunjukkan bahwa mereka perwira kemenangan yang menjemput tahta peradaban.
Absurditas yang diterapkan menyeret banyak peristiwa kemunduran pendidikan di segala lini. Karena, lagi-lagi pendidikan bukan hanya tentang seberapa banyak piala dan piagam yang dibawa lantas mengacuhkan kekacauan sosial, kemanusiaan, penyelewengan kekuasaan, dan segala kemunduran, hingga lupa bahwa diri sendiri adalah bagian daripada peradaban yang menuju jurang ‘kematian’, kematian sebelum mati.
Penulis kontributor : Akal Budi, Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis USK
Editor : Dinda