Perspektif – Bayangkan kamu lagi tegang-tegangnya nonton film horor sendirian tiba-tiba ada suara tertawa dan tangisan yang ga asing dari lantai atas rumahmu. Dan di lantai atas rumahmu itu tidak ada siapa-siapa. HAYOLOH.
Sepuluh tahun yang lalu, saya lupa bulannya, yang jelas saat itu saya masih berumur 10 tahun dan masih mengenyam bangku Sekolah Dasar (SD) di Cilangkap, Jakarta Timur. Kebetulan saya sendiri dari dulu memang suka apapun yang berbau horor atau seram-seram kayak setan gitu. Aneh ya saya.
Tetapi saya tidak mempunyai mata batin kok atau sejenisnya, cuman saya cukup peka mengenai keberadaan mereka, ehe mungkin karena terbiasa.
Sebelum saya bercerita, mari bangun imajinasi kalian dulu sebagai pembaca cerita berikut. Rumah orangtua saya yang di Jakarta itu rumah terdahulu seseorang dan kata Ayah saya, pemilik dulu sempat mengalami stress hingga berujung melompat dari lantai tiga, tapi saya gatau ini Ayah saya yang usil cuman mau nakutin saya atau memang benar-benar adanya.
Memang sih keadaan lantai tiga rumah kami cuman separuh ruangan biasa yang diisi dengan barang-barang lama tak terpakai, ya abis itu setengahnya lagi lapangan, biasa saya dan abang saya gunakan untuk bermain basket, atau sebagai tempat Mamah saya untuk mencuci baju dan menjemur. Malam-nya sepi.
Ceritanya, malam itu sedang malam Jum’at, kebetulan salah satu channel televisi favorit selalu akan menayangkan film horor barat di pukul 22.15 WIB dan saya betul ingat nama filmnya ‘1408’, yang dimana menceritakan kamar bernomor 1408 adalah kamar yang telah membunuh puluhan orang penghuninya, sekilas begitu.
Mamah saya sangat melarang untuk menonton film horor, soalnya, nanti saya parnoan sendiri, padahal yang paling pemberani di rumah adalah saya sama Ayah saya. Akhirnya saya ngerengek meminta bantuan Ayah untuk diizinkan nonton film horor dengan ditemani Ayah saya, ga sendirian ya eheh.
Kemudian di saat sudah berada di pertengahan film, saya mendengar sesuatu dan saya merasakan yang aneh, tapi saya memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di samping saya, rupanya……suara ngorok dari Ayah saya yang sudah tertidur lelap. Owalah bikin takut saja.
Saya kembali melanjutkan aktifitas menonton filmnya lagi, namun hawa mulai terasa dingin, dan bulu kuduk saya pun merinding, ternyata……16 celcius derajat AC-nya. Owalah lagi. Baiklah serius. Saya masih serius dengan film ini, dan tak terasa seingat saya sudah sangat larut malam, malah mau nunjukkan pukul dini hari, ya maklum kebanyakkan iklan.
Tak lama dari itu, tiba-tiba saya merasa mendengar dengan jelas suara tertawa yang agak cempreng khasnya milik perempuan, oktafnya cukup kuat, saya pun menoleh kebelakang, arah dimana ruang tangga berada, gelap, memang tak ada cahaya yang menerangi tangganya.
Karena masih anak SD, saya beranggapan suara tersebut adalah suara tetangga yang dekat bangunannya arah tangga. Tapi kalau dipikir-pikir kok bisa menembus ke rumah saya, dan masa ketawa di pukul dini hari, apa kurang kerjaan banget.
Tak lama lagi dari suara tertawa mba-mba ini, disusul lagi suara seperti barang berat jatuh, “BUK!”. Kan ga mungkin orang jatuh, toh di lantai dua sedang tidak ada abang saya. Lagi-lagi saya gak fokus sama tontonan yang sedang saya nonton.
“Itu apaan sih.” Sebal saya, kemudian memberanikan diri ke arah ruangan tangga yang cukup gelap, soalnya dulu saya lebih takut maling, ketimbang hantu. Cukup lama saya memperhatikan tangga ini ke arah atas sambil bertanya-tanya.
“Suara apa sih?” tapi nihil.
Karena merasa tidak ada yang aneh, saya kembali duduk di samping kasur lantai yang di mana Ayah saya pun sedang tertidur di sana. Tiba-tiba terdengar suara tangisan yang cukup kencang, dan gak lain memang suara perempuan. Di sini saya baru panik, “Masa ya kuntilanak yang ketawa terus jatuh abistu nangis,” sial saya makin takut.
“Ayah,” entah sudah berapa kali saya berusaha membangunkan Ayah saya tapi beliau ga bangun-bangun, namun masih ngorok. Mau ga mau, saya musti memastikan lagi, soalnya ga mungkin kalau ada suara tapi gaada wujudnya, yakan?
Kembali saya berdiri di hadapan tangga dan menilisik tajam kedepan serta arah atas tangga berhasil mengejutkan. Biasanya saya melihat mba-mba Kuntilanak ini di film horor Indonesia dengan baju panjang putih serta rambut hitam lurus yang terurai begitu saja, namun saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri.
Sensasinya memang tiada banding! Melihat secara langsung, saya cuman bisa terdiam, otak saya tidak dapat mengelola visual apa yang baru saya liat dengan baik. Paling kongkretnya yang saya liat memang tak ada kaki yang menapak, Ia mengambang terbang.
Pingsan tidak, tapi saya gabisa tertidur walaupun sudah memasuki kamar orangtua saya dan memeluk Mamah saya. Namun keesokannya saya demam dan terdiam berhari-hari, serta merasa kosong, sampai akhirnya saya beranikan menceritakan kepada Mamah saya, malah beliau ikutan takut. Yasudahlah, sekian dulu cerita Malam Jum’at ala Perspektif! (V/Perspektif)