Darussalam – Menjelang pesta demokrasi yang semakin dekat, para Calon Presiden (Capres), Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah biasanya melakukan berbagai cara pada masa kampanye untuk menarik suara dari masyarakat. Cara yang dilakukan tentunya sangat beragam, mulai dari berkampanye dengan memajang baliho di jalan, mempresentasikan visi-misi melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, Tiktok, hingga yang melibatkan strategi kurang terpuji seperti permainan uang dalam ranah politik.
Politik uang (money politics) merupakan upaya memberikan manfaat yang dilakukan oleh kontestan pemilihan umum (pemilu) agar masyarakat memilih dirinya untuk menjabat di pemerintahan, baik yang ingin menduduki jabatan di lembaga legislatif seperti Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota, serta wakil rakyat yang ingin menduduki jabatan di lembaga eksekutif seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Sedangkan menurut Ebin dan Danius, politik uang adalah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang sebagai alat untuk memengaruhi seseorang dalam memilih.
Di Indonesia sendiri politik uang seakan sudah menjadi tradisi dan jurus jitu untuk dapat mempengaruhi pilihan seseorang. Padahal perilaku ini merupakan ancaman bagi demokrasi yang ada di Indonesia. Banyak ilmuwan sepakat bahwa hal ini merupakan fenomena yang berbahaya dan buruk bagi demokrasi karena dapat mengaburkan prinsip integritas dan keadilan dalam pemilu. Sehingga, sudah seharusnya politik uang menjadi salah satu fokus pemerintah ketika menjelang pemilu, agar demokrasi kita lebih berkualitas dan terjaga.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengatur kebijakan untuk mengantisipasi politik uang di Indonesia, hal ini bisa dilihat pada Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur tindak pidana politik uang, dalam jurnal yang diterbitkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada pemilu tahun 2019 praktik politik uang yang terjadi justru meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, hal ini juga dibuktikan dengan video-video yang beredar di media sosial pada tahun tersebut.
Sudah seharusnya kita sebagai rakyat Indonesia juga peduli terhadap permasalahan ini dengan tidak menormalisasikan perbuatan tercela tersebut. Tanpa kita sadari perbuatan ini adalah bentuk ketidakpedulian kita terhadap sistem politik demokrasi yang dicita-citakan, kita selalu mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang cocok dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Tapi mirisnya banyak dari kita ketika dihadapkan dengan sebuah keuntungan pribadi yang nominalnya mungkin tidak terlalu besar atau mungkin dihadapkan dengan iming-iming jabatan, kita tidak berkuasa untuk menolaknya.
Menerima politik uang dari oknum caleg/capres memang bukan berarti kita memilih mereka. Akan tetapi jika politik uang terus dilazimkan, tentu mereka yang memiliki kapabilitas untuk membangun bangsa dan ingin mencalonkan diri ke depan harus berpikir ulang mengingat biaya yang dikeluarkan harus besar sebagai akibat dari terbiasanya masyarakat kita menikmati politik uang.
Apabila nantinya oknum yang melakukan politik uang terpilih, maka bukan tidak mungkin apabila mereka berpikir terlebih dahulu bagaimana caranya mereka balik modal dari biaya politik yang dikeluarkan sebelumnya. Politik uang sebenarnya adalah pangkal dari korupsi yang dilakukan oleh para wakil rakyat, yang kemudian disebut dengan korupsi elektoral.
Hal kecil yang selama ini kita anggap sepele adalah akar dari pertanyaan kenapa para pejabat publik selalu melakukan korupsi dan tidak jera.
Menjelang pemilu pada tanggal 14 Februari nanti, politik uang masih saja terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya, salah satu contohnya adalah seperti pada video yang diunggah oleh akun @akun_saka.channel_83 video yang berisi seorang bapak membagikan amplop dengan gambar salah satu partai di masjid. Video tersebut juga di komentari oleh ribuan pengguna TikTok. Kebanyakan dari mereka berkomentar untuk tetap mengambil uang pemberian tersebut akan tetapi jangan dipilih. Seperti disampaikan sebelumnya hal ini terjadi karena seakan politik uang sudah menjadi tradisi akibat dari normalisasi yang kita lakukan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita membiasakan diri untuk tidak berpikir sempit, menolak bersikap pragmatis terhadap hal ini. Penting bagi kita untuk tidak memandang sepele permasalahan politik uang, mengingat dampaknya pada kualitas demokrasi kita. Dalam menyongsong pemilu mendatang, kita sebagai masyarakat harus bersatu untuk menolak sikap pragmatis dan membiasakan diri dengan sikap yang lebih luas dan bertanggung jawab. Hanya dengan demikian kita dapat menjaga integritas dan kesehatan demokrasi di negeri ini, menjadikan setiap pemilihan sebagai panggung nyata bagi perubahan yang lebih baik.
(Perspektif/Qanun Meukuta Alam Alasyi)
Sumber Ilustrasi: http://freepik.com
Editor: Dinda Syahhrani