BeritaIndepth

Omnibus Law Belum Padam?

×

Omnibus Law Belum Padam?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi : Ayu Khatijah
Ilustrasi : team Grafis/Perspektif

Darussalam – Banyak isu satu persatu muncul dihadapi negara tercinta kita ini. Belum selesai isu yang satu, muncul lagi isu yang lainnya. Salah satu isu hangat namun tertutupi oleh pandemi Covid-19 ialah perihal omnibus law yang telah meresahkan para buruh di Indonesia. Lantas, apa itu omnibus law?

Menurut Audrey O Brien ( 2009 ), omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Selain itu, Bryan A Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa Omnibus relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes.

Dari pernyataan Brien dan Garner, bisa disimpulkan bahwa omnibus law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus.

Nah, isu hangat yang sayangnya tertutupi oleh pemberitaan pandemic corona ini merupakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law perpajakan yang siap diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), RUU ini katanya disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

Lantas, kenapa sih RUU ini harus mendapat hadangan dari barisan serikat buruh? Sebelum berbicara lebih jauh, berikut Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang jadi kontroversi itu

  • Omnibus Law Cipta Lapangan kerja mencakup 11 klaster yakni :
  1. Penyederhanaan perizinan
  2. Persyaratan Investasi
  3. Ketenagakerjaan
  4. Kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM
  5. Kemudahan berusaha
  6. Dukungan riset dan inovasi
  7. Administrasi pemerintah
  8. Pengenaan Sanksi
  9. Pengadaan lahan
  10. Investasi dan proyek
  11. Kawasan ekonomi

 

  • Omnibus Law Perpajakan yang disiapkan Kementerian Keuangan mencakup beberapa pilar yakni:
  1. Pendanaan investasi
  2. Sistem teritori
  3. Subjek pajak orang pribadi
  4. Kepatuhan wajib pajak
  5. Keadilan iklim berusaha
  6. Fasilitas

Menyikapi kedua RUU Omnibus law tersebut, serikat buruh menggelar aksi unjuk rasa, ribuan buruh tumpah ruah di gedung DPR pada senin (20/1/2020) lalu. Dalam unjuk rasa tersebut, ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Indonesia (SPI) menentang keras pengesahan RUU onmibus law khususnya RUU Cipta Lapangan Kerja karena dianggap justru akan merugikan para pekerja.

Dilansir dari berbagai sumber, Presiden Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Saiq Iqbal berpendapat bahwa ada 6 alasan penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law. Pertama, ditiadakannya upah minimum.yang artinya pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan dibawah upah minimum. Kedua, aturan mengenai pesangon dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah dari yang seharusnya buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah. Ketiga,omnibus law ini juga dikhawatirkan menghapus berbagai persayaratan ketat bagi tenaga kerja asing. Keempat, buruh menolak istilah fleksibilitas pasar kerja,ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Kelima, jaminan sosial yang berpotensi hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Keenam, buruh juga menolak adanya wacana penghapusan sanksi bagi pengusaha yang tak memberikan hak hak buruh.

Sementara itu, sependapat dengan Presiden SPI, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Andi Gani Nena Wea menyarankan sebaiknya pemerintah berkomunikasi dengan buruh sebelum merumuskan aturan omnibus law cipta lapangan kerja. Namun, menurut dia, buruh malah tidak dilibatkan dalam penyusunan omnibus law tersebut, sehingga timbul kekecewaan dan kesalahpahaman.

Nah lho, bagaimana kelanjutannya ya? (Amnar/Jannah)

Editor : Jamaludin Darma