Belum Waktunya Mata Uang Sendiri
Jika ada pertanyaan sebagaimana judul opini di harian Serambi Indonesia pada Kamis (29/11/2012) lalu, “Dinar dan Dirham, Mengapa tidak?” [versi daring dapat dilihat di: http://aceh.tribunnews.com/2012/11/29/dinar-dan-dirham-mengapa-tidak], jelas jawabannya “Tidak, untuk saat ini”. Kedua opini dari penulis yang berbeda pada hari yang bersamaan di media itu sama-sama berkonklusi agar Aceh dapat menerapkan mata uang sendiri dalam transaksi, yaitu dinar dan dirham. Tulisan “Dinar dan Dirham, Mengapa tidak?” yang pada bagian awalnya bercerita sejarah penggunaan uang dinar dan dirham sayangnya tidak komprehensif karena tidak menyertakan sejarah uang emas yang pernah berlaku di Aceh tempo dulu yaitu mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh yang lazim disebut Derham Pasai atau Derham Aceh sebagaimana ditulis oleh Alfian (1979) dalam Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh.
Pada tulisan ini saya akan mengemukakan alasan-alasan mengapa penerapan mata uang sendiri menjadi tidak relevan dan bahkan inkonstitusional. Sebelumnya, ada hal yang wajib dipahami jika berwacana tentang inovasi dalam bingkai otonomi daerah dan/atau otonomi khusus Aceh. Secara hierarki undang-undang, desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia diatur UUD 1945 dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18, 18A, dan 18B). UUD ini kemudian menjadi dasar dari pembentukan aturan lain di bawahnya seperti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan perubahan keduanya yaitu UU No. 12 Tahun 2008, sedangkan UU No. 24 Tahun 1999 diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5 UU No. 32 Tahun 2004). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI (Pasal 1 ayat 7 UU No. 32 Tahun 2004). Daerah diberikan otonomi seluas-luasnya sebagaimana mandat UUD 1945 yaitu pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2) serta pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat 5). Dalam hal ini, setiap wacana inovasi dalam pengelolaan otonomi daerah, tidak boleh mengambil urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Ada enam urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yaitu meliputi politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama (Pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004).
Kembali ke opini “Dinar dan Dirham, Mengapa tidak?” yang saya kutip di awal tulisan ini khususnya di bagian tentang Mata Uang Sendiri, gagasan penggunaan mata uang sendiri ini jelas tidak relevan, bahkan inkonstitusional. Mengapa? Pertama, saya sudah menguraikan di atas tentang apa saja urusan Pemerintah Pusat yang tidak boleh menjadi wewenang daerah. Aceh jelas tidak boleh menerapkan mata uang sendiri saat ini. Persoalan moneter, dalam hal ini penerbitan mata uang tidak menjadi wewenang Pemerintah Aceh. Hal ini jika ditilik lebih dalam dapat dilihat pada BAB IV tentang Kewenangan Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Kota dalam UUPA. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (Pasal 7 ayat 1 UUPA). Kewenangan Pemerintah Pusat yang diperjelas di Pasal 7 ayat 2 UUPA merujuk ke aturan sebelumnya yaitu Pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004. Jadi jelas Aceh dapat berkreativitas dan berinovasi dalam menjalankan roda pemerintahannya, tapi persoalan yang bersifat nasional, politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Jadi jelas keliru jika menulis “Aceh sebagai provinsi syariat Islam, selanjutnya sesuai dengan semangat UUPA yang mendukung pemberlakuan nilai mata uang tersendiri di Aceh.”
Jikapun ide tentang mata uang sendiri dirujuk ke butir MoU Helsinki yaitu pada poin 1.3.1. dapat dilihat bahwa tidak ada kewenangan tentang penerapan dan penerbitan mata uang sendiri, tapi yang tertulis di MoU adalah Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri dan Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Wacana tentang mata uang sendiri juga semakin inkonstitusional karena bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyebutkan bahwa mata uang di NKRI adalah Rupiah (Pasal 2 ayat 1).
Kedua, Syaukani (2009) menuliskan beberapa kesalahpahaman tentang otonomi daerah, salah satunya dan yang pertama adalah otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Hal ini muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J Wayong (1956), bahwa otonomi identik dengan automoney. Dalam Qanun No. 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, pada pasal 2 termaktub ruang lingkup keuangan Aceh yang meliputi: hak Aceh untuk memungut pajak Aceh, retribusi Aceh dan zakat serta dapat memperoleh pinjaman; kewajiban Aceh untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan Aceh dan membayar tagihan pihak ketiga; penerimaan Aceh; pengeluaran Aceh; kekayaan Aceh yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Aceh; kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah Aceh dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan Aceh dan/atau kepentingan umum. Jelas dan terang tidak ada hal-ihwal tentang penerapan mata uang sendiri di qanun ini.
Pentingnya Inovasi Tata Kelola Keuangan di Aceh
Gagasan penggunaan mata uang sendiri, dalam hal ini dinar dan dirham tidak secara otomatis meningkatkan kondisi perekonomian suatu daerah. Walaupun uang emas lebih stabil, risiko volatilitas yang rendah, sangat tangguh, dan dapat diandalkan daripada mata uang yang berlaku saat ini (fiat money), tapi uang emas tidak serta merta dapat dijadikan mata uang baru. Ada persoalan terkait penggunaan mata uang emas ini yaitu aspek fleksibilitas dan kepraktisan, asas keadilan, dan tingkat penerimaan (Hamidi, 2007). Menerbitkan mata uang sendiri juga memiliki biaya yang tinggi mulai dari pelembagaan dan manajemen bank sentral, infrastruktur keuangannya, sumber daya manusia, dan biaya lainnya. Secara internasional juga, dari beberapa negara Islam, hanya Iran dan Malaysia yang secara progresif terlibat dalam rencana penggunaan emas sebagai alat tukar perdagangan. Sedangkan Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya memilih tetap “setia” menggunakan dolar sebagai alat pembayaran minyaknya. Hamidi lebih lanjut menjelaskan bahwa saat ini ada hal yang bisa diterapkan dan realistis ketimbang ide penerapan dinar emas, dalam konteks Aceh hal ini juga relevan dan dapat digagas yaitu pembayaran zakat dengan emas, penggunaan emas sebagai alat pembayaran dan media investasi haji, dan investasi emas.
Hal yang mesti dipikirkan oleh pemerintah daerah terkait desentralisasi fiskal saat ini yaitu bagaimana menerapkan tata kelola keuangan daerah dengan baik dan meminimalisir korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah. Elemen tata kelola keuangan daerah meliputi antara lain penerapan sistem manajemen keuangan daerah, sistem akuntansi keuangan daerah, pengawasan dan audit keuangan daerah, kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, regulasi dan sumber daya manusia yang memiliki standar kompetensi, profesionalisme, dan standar etika dalam pengelolaan keuangan daerah (Mardiasmo, 2009). Sistem manajemen keuangan daerah terdiri dari manajemen pendapatan daerah, belanja daerah, kas dan anggaran kas, aset daerah, utang dan investasi daerah, dan kemitraan pemerintahan daerah (Mahmudi, 2010). Shah (2007) menambahkan unsur sistem manajemen keuangan daerah yaitu akuntansi dan pelaporan keuangan; pengadaan di pemerintah daerah; pengendalian internal dan audit pemerintah daerah; dan audit eksternal dan evaluasi kinerja.
Dalam hal tata kelola keuangan daerah Aceh, Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota di Aceh akan menghadapi dua perubahan yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini, yaitu tentang pertambahan penerimaan yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah (sesuai UU No. 28 Tahun 2009) dan perubahan Standar Akuntansi Pemerintahan (sesuai dengan PP No. 71 tahun 2010) yaitu SAP berbasis akrual. UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010 mensyaratkan adanya peraturan daerah agar daerah dapat menarik pajak dan retribusi daerah itu. Beberapa daerah belum membuat perda (qanun) ini sehingga hal ini dapat membuat potensi penerimaan daerah hilang. UU No. 28 Tahun 2009 juga telah menambah jenis pajak baru untuk provinsi yaitu pajak rokok, dan pajak baru untuk kabupaten/kota yaitu pajak air tanah; pajak sarang burung walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2); dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan untuk retribusi daerah terdiri dari tiga kategori objek yaitu jasa umum; jasa usaha; dan perizinan tertentu yang akan diuraikan ke berbagai cakupan retribusinya. Daerah dilarang berinovasi dengan menambahkan jenis pajak baru selain yang diterapkan UU, tapi daerah dapat berinovasi dengan menambahkan jenis retribusi baru selain yang diatur dalam UU. Daerah juga mesti optimal dan efektif dalam merencanakan dan membelanjakan pengeluarannya, serta memastikan semua proses dari uang masuk, uang yang ada, dan uang yang keluar dapat bebas dari korupsi.
Tulisan ini pengembangan dari draf awal dan telah diperbarui pada 10 Juli 2013.
Rizki Alfi Syahril
Master of Accounting dari Universitas Gajah Mada