Darussalam – Dewasa ini, mahasiswa tak hanya demo atau turun ke jalanan untuk menyalurkan aspirasi. Semua dapat disampaikan melalui internet dan jangkauannya pun lebih luas. Media sosial seperti Twitter, Instagram, bahkan Tiktok sudah menjadi wadah mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya. Media sosial juga dianggap lebih efektif untuk menyuarakan karena adanya bumbu komedi yang digunakan sehingga tidak terkesan mengkritik habis-habisan. Namun, apakah dengan jalur media sosial yang digunakan mahasiswa sebagai wadah aspirasi akan membuat mereka dibungkam bahkan dituntut dikarenakan salah pengartian atau bahkan mengkritik dan melanggar undang-undang yang berlaku?
Kritik mahasiswa melalui media sosial terbukti memiliki potensi untuk ditanggapi oleh pemerintah. Belajar dari pengalaman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia dalam mengkritik Presiden Indonesia. Melalui akun Instagram, BEM UI mengunggah poster Presiden Joko Widodo yang menyebut Presiden “King of Lip Service”.
Perihal kritikan tersebut, Presiden Indonesia Joko Widodo turut memberikan tanggapannya, yang membuktikan kritikan-kritikan dari media sosial dapat sampai di telinga yang dituju.
“Jadi kritik itu boleh-boleh saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan. Ya saya kira biasa saja, mungkin mereka sedang belajar mengekspresikan pendapat,” tanggapan langsung Presiden Joko Widodo, dilansir dari cnbcindonesia.com.
Banyak pro kontra mengenai hal ini, ada yang mendukung karena dapat mengoreksi kinerja pemerintah, tapi tak sedikit pula yang tidak setuju karena mahasiswa hanya mengkritik tetapi tidak berdasarkan fakta yang ada. Bahkan, kritikan tersebut banyak diartikan dengan serangan personal yang ditujukan kepada orang nomor satu di Indonesia ini dengan beranggapan bahwa kinerja Jokowi hanya “diam” atau pasif, pun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak menjalankan tupoksinya, dan lain sebagainya. Mahasiswa dianggap hanya mampu mengkritik, bahkan terdapat mahasiswa yang sampai diberi skors disebabkan kritikannya.
Kritikan yang disampaikan melalui media sosial tidaklah dilarang mengingat negara kita merupakan negara yang demokrasi. Namun, terdapat satu kutipan menarik dari buku kitab lupa dan gelak tawa. Milan Kundera menulis kritik terhadap otoritarianisme dalam bentuk cerpen.
“Benar, konstitusi menjamin kebebasan berbicara, tetapi hukum akan menghukum tindakan apa pun yang bisa ditafsirkan sebagai melecehkan negara”
Kritikan dapat dikatakan melanggar hukum dan dipidana apabila menyangkut beberapa peraturan seperti Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam pasal ini memuat peraturan terkait adanya unsur penghinaan. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), berkaitan dengan penggunaan foto atau vidio yang diunggah untuk kritikan melalui media sosial tanpa izin yang melanggar hak cipta. Penyebaran kritikan melalui media elektronik tentunya dapat dituntut Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal ini banyak disebut sebagai “pasal karet” yang dapat menjerat siapapun yang melanggarnya dan dengan ini sangat mudah untuk menjerat orang-orang agar dapat membukam kritikan.
Oleh karena itu, mengenai kritik terkait kebijakan pemerintah yang diaspirasikan oleh mahasiswa melalui media sosial tidak ada salahnya. Namun, dapat digarisbawahi bahwa menyampaikan kritikan haruslah memperhatikan peraturan yang ada, mengingat negara Indonesia merupakan negara yang mewajibkan rakyatnya patuh terhadap aturan. Kritikan tidak akan dibungkam mengingat negara ini menjunjung tinggi demokrasi asalkan mengkritik dengan adab dan sopan santun.
(Perspektif/Alyza, Annysya)
Editor : Dinda