“Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” -Soekarno
Darussalam – Pemuda merupakan unsur yang sangat penting dalam berbagai peristiwa yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah mencatat bahwa pemuda adalah salah satu faktor penting dalam kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang dikenang setiap 17 Agustus adalah hasil dari desakan pemuda yang menimbulkan peristiwa Rengasdengklok. Rengasdengklok merupakan peristiwa penculikan terhadap dua tokoh bangsa, Soekarno dan Mohammad Hatta, yang didalangi oleh para pemuda. Dalam hal ini, para pemuda menuntut dua tokoh bangsa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Semangat awal untuk mencapai kemerdekaan dapat dilihat dari lahirnya Sumpah Pemuda, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928. Peran aktif pemuda terhadap kemajuan bangsa sebenarnya sudah ada jauh sebelum itu. Tepat dua dekade sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, terdapat organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa yang bergerak pada isu pendidikan, sosial, dan budaya. Organisasi tersebut dikenal dengan Budi Utomo, dan alasan lahirnya Budi Utomo adalah untuk menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat Meskipun pada saat itu masih dalam masa penjajahan Belanda.
Peran pemuda tidak hanya berakhir dalam memperjuangkan kemerdekaan, pemuda juga merupakan tokoh sentral dalam catatan sejarah. Dalam mempertahankan kemerdekaan dari Belanda, yang mencoba untuk kembali menjajah NKRI, para pemuda kemudian membentuk pasukan paramiliter (laskar) untuk mempertahankan kemerdekaan dan melawan Belanda. Beberapa laskar yang terbentuk antara lain adalah Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GPRI), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Hizbullah, Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan Barisan Banteng Republik Indonesia (Barisan Banteng).
Perjuangan yang dilakukan oleh para pemuda dan mahasiswa tidak hanya melalui paramiliter. Selain dari perjuangan yang berdarah-darah demi mempertahankan keutuhan bangsa, para mahasiswa juga membentuk organisasi-organisasi baru untuk mewujudkan persatuan dalam rangka menjayakan revolusi nasional. Organisasi-organisasi mahasiswa yang dibentuk kala itu ialah organisasi yang dekat dengan partai politik, seperti Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947, lalu pada 25 Mei 1947 didirikan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI).
Organisasi-organisasi tersebut kemudian berkembang dan membentuk Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Organisasi ini kemudian secara langsung memberikan pandangan berkenaan dengan perkembangan politik nasional dalam sesi diskusi bersama Presiden Soekarno kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa dan pemuda menjadi unsur penting di dalam kancah politik nasional untuk pembangunan bangsa.
Pada tahun 1965-1966, stabilitas politik dan ekonomi Indonesia dalam keadaan yang sangat buruk. Inflasi ekonomi Indonesia kala itu bahkan mencapai lebih dari 500%, yang dipicu oleh tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S-PKI). Mahasiswa, sebagai representasi dari masyarakat, melakukan demonstrasi dengan memberikan tiga tuntutan kepada rezim Orde Lama. Tuntutan tersebut dikenal dengan nama Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yang dibacakan pada tanggal 10 Januari 1966, dan bertempat di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Adapun isi tuntutan tersebut adalah sebagai berikut:
- Pembubaran Partai Komunis Indonesia
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S (reshuffle Kabinet Dwikora)
- Penurunan harga, yaitu sebagai langkah perbaikan ekonomi rakyat
Tuntutan mahasiswa yang terus dilakukan kepada rezim Orde Lama, membuahkan hasil dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang kemudian meruntuhkan kekuasaan Orde Lama dan digantikan dengan Orde Baru.
Setelah berperan penting dalam runtuhnya Orde Lama, ketika Orde Baru berkuasa, pergerakan mahasiswa masih tidak bisa dilakukan secara masif. Pemerintah membuat kebijakan yang membatasi kebebasan berekspresi masyarakat pada umumnya, dan mahasiswa khususnya. Pemerintahan rezim Soeharto dengan corak otoriter membawa sejarah buruk bagi pergerakan mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang dikeluarkan pada tahun 1978. Kebijakan ini menuntut agar mahasiswa tidak mencampuri urusan politik. Rezim Soeharto membuat kampus sebagai penjara berpikir bagi para mahasiswanya, dimana kegiatan kemahasiswaan terbatas pada lingkup minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran.
Krisis finansial yang terjadi telah menyebabkan devaluasi pada nilai tukar rupiah, peningkatan angka pengangguran, serta perilaku korupsi para pejabat yang semakin merajalela. Ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru memuncak pada kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan tersebut menewaskan 499 jiwa, menghancur leburkan lebih dari 4.000 gedung, juga menyebabkan kerugian fisik sekitar Rp 2,5 triliun rupiah. Perjuangan panjang masyarakat Indonesia dan mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi pun tercapai setelah Soeharto memutuskan untuk lengser dari jabatannya.
Dalam sejarahnya peran mahasiswa dan pemuda dalam menentukan arah bangsa sangatlah penting. Mahasiswa sebagai agen perubahan, juga suara masyarakat, sudah seharusnya lebih peka terhadap isu-isu sosial, isu-isu lingkungan, isu kebijakan publik, kemajuan teknologi, perubahan politik, maupun kebutuhan masyarakat. Harapan masyarakat berada pada pundak seorang pemuda untuk mempertahankan negeri ini. Hal ini sejalan dengan kutipan Presiden Soekarno,
“Pemuda adalah harapan dan masa depan bangsa, mereka memiliki tanggung jawab besar dalam membangun negeri ini.”
Dalam buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” dijelaskan bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa dalam mencapai kemakmuran dan stabilitas politik sangat dipengaruhi oleh jenis institusi politik dan ekonomi yang ada di negara tersebut. Bangsa-bangsa yang memiliki institusi inklusif, dalam memberikan kesempatan kepada semua orang untuk berpartisipasi dalam proses politik dan ekonomi, cenderung mencapai kemakmuran jangka panjang. Oleh karena itu, sebagai bagian dari infrastruktur politik, mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam dinamika politik suatu negara. Mahasiswa memiliki potensi besar dalam membentuk opini publik, mempengaruhi kebijakan, dan memperjuangkan perubahan sosial dan politik.
(Perspektif, Alam)
Editor : Cut Meisya Salsabila