Matahari menyusup ke ujung langit, kami bergegas menjahit ilmu dan bait.
Islamic Center itu namanya, masjid yang berdiri kokoh dengan gaya arsitektur bernuansa ala Timur Tengah menjadi titik kumpul kami bersama di tengah hiruk pikuk pusat kota petro dollar ini, di atas sembilan kubah masjid yang menjulang tinggi timbul cahaya putih silih berganti dengan suara guntur yang mampu membuat kami mengelus dada. Setelah menghadap Tuhan untuk menunaikan kewajiban, kami mengenakan alas kaki di tengah rintik hujan yang membasahi rumput kekurangan nutrisi.
Lampu mobil menderang di sepanjang jalan, suara motor nyaris dilahap hujan, tampaknya meneduh adalah pilihan terbaik bagi sebagian orang , begitu pula kami yang saat ini sudah memasuki satu jalan remang, kurang pencahayaan, lima puluh meter dari jalan utama, dan juga bersebelahan dengan masjid. Hujan berubah menjadi lebih redam dan tak berisik, kini kami berdiri tepat di sebuah bangunan coffe shop yang berhias lampu putih dan kuning tempat kami sepakat membangun meja diskusi bersama Julian Syahputra kreator animasi Sengklekman dengan 1,29 juta subscriber di Youtube.
Sebelum kaki menyentuh teras café, Korlap memberi arahan bersamaan dengan itu suara perut yang keroncongan memekik telinga berharap diberi asupan. Kami dengan lekas menaiki tangga lantai dua dan mendapati ruang terbuka yang cukup untuk menampung 29 anggota, disana juga terdapat beberapa meja pelanggan yang sibuk dengan laptop dan kerjaannya. Sayup-sayup terdengar dari meja sebelah “dari mana nih? Bajunya kok sama semua?,” ucap seorang pria memakai baju merah.
Tengok saja pakaian kami ini, seragam lengan panjang berwarna hitam, diujung lengan berwarna merah di punggung pakaian dinas harian ini bertuliskan Perspektif, di mana tulisan pers berwarna merah dan pektif berwarna putih yang melambangkan kami adalah unit kegiatan mahasiswa yang mendalami jurnalistik.
Kami menyantap sebungkus nasi dengan tergesa-gesa mengingat narasumber sedang dalam perjalanan menuju ke café shop ini, tapi nikmat makan bersama adalah hal yang patut kami syukuri. Tak lama dari itu, datanglah seorang pria menggunakan kaca mata bulat dengan gagang berwarna hitam, tingginya semampai, rambutnya hitam pekat, kulitnya putih dan yang paling menarik adalah nada suaranya yang dapat berubah-ubah, sesekali melengking tegas, sesekali seperti suara tokoh dalam animasi sengklekman.
Selama bertukar informasi mengasyikkan tentang desain dan animasi, kami mendengar setiap kata yang dilontarkan dengan seksama seperti tersihir. Juliansyah dengan pembawaan gaya bicara yang santai dan murah senyum membuat kami mampu masuk ke dalam sendi-sendi proses lahirnya, jatuhnya, amarahnya, idenya, dan senangnya dalam membangun animasi Sengklekman. Di tengah itu, kami banyak tertawa karena guyonan. Di akhir sesi bincang-bincang ini kami diberi kesempatan untuk melihat rekam jejak dan ide-ide baru yang akan segera di launching oleh Sengklekman. Wah, jadi tak sabar.
Disana kami mempelajari hal tersirat:
Jalan panjang menuju impian bukanlah proses yang instan. Juga tidak selalu penuh kemeriahan perayaan. Tapi kami akan terus melangkah perlahan menyusurinya. Jadilah pahlawan bagi diri sendiri.
(Perspektif/Hafiz, Ula)