
Banda Aceh – “Lebih asik ngomong di warung kopi ketimbang kampus ekonomi”
Mungkin kalimat di atas begitu menggambarkan dengan jelas tentang kondisi terkini di kampus tertua di universitas Syiah Kuala ini.
Menyedihkan memang, melihat kampus yang diisi oleh ratusan akademisi dan digadang-gadang punya segudang prestasi, bahkan tidak menyediakan ruang diskusi bagaimana kondisi terkini ekonomi nasional.
Seingat saya, terakhir kali kampus membuka diskusi tentang ekonomi adalah di awal tahun 2018 ketika sedang marak-maraknya isu dana Otsus begitu menggema di Aceh.
Dalam sesi diskusi yang diberi nama Komunitas Pemikir Ekonomi (KOPI), mereka turut menghadirkan Dr. Chenny S.E. M.Si. yang merupakan Sekretaris Jurusan Program Studi Ekonomi Pembangunan Unsyiah.
Namun begitu disayangkan, hasil diskusi yang telah dilaksanakan di Balai Sidang Ekonomi ternyata hanya bergema dalam ruangan saja, tidak ada publikasi lebih lanjut.
Poin-poin pernyataan hasil diskusi (notulensi) mungkin hanya sekedar pertanggal bagi mereka pernah melakukan diskusi ilmiah yang pertama setelah sekian tahun lamanya.

Dan di pertengahan 2018, ketika nilai tukar dolar menyentuh Rp. 15.047 (data grafik kurs dollar.net), kampus tetangga yang berslogan “kampus pejuang rakyat” bergerak cepat untuk membuka ruang pendapat untuk membahas isu ini pada Minggu di pelataran masjid Jami’ Unsyiah (9/9).
Seakan berbanding terbalik, kampus yang punya kapasitas terbesar untuk membahas kurs rupiah terlihat adem ayem tanpa pergerakan.
Lantas kemanakah mahasiswa? Kemana para pemikir ekonomi? Mari kita doakan semoga mereka dapat kembali ‘pulang’ ke kampus ini.
M. Jauhar Ihsan (Pemimpin Umum LPM Perspektif FEB Unsyiah)