Malam Jumat

Ketika Dia Menyapa di Penghujung Malam Hari

×

Ketika Dia Menyapa di Penghujung Malam Hari

Sebarkan artikel ini

“Krincing… Krincing… Krincing…” suara yang mengganggu tidur malamku itu lagi dan lagi terus berbunyi, tapi aku tak tau dari mana sumber suara itu.

Hampir beberapa malam ini aku terjaga dari tidur malamku, karena mendengar suara kerincing yang aneh.

Awalnya aku berpikir itu sebuah ilusi alam bawah sadarku saja karena saat ini aku sedang mengunjungi atau bisa dikatakan menghadiri acara sunatan saudaraku dari luar daerah tempat tinggalku. Karena tempatnya jauh dari rumahku alhasil kami menginap beberapa hari ditempat yang telah disediakan oleh saudaraku.

Biar kugambarkan keadaan sekitar rumah ini. Rumah yang tidak terlalu besar, namun memiliki kamar yang cukup banyak dan dapat menjadi tempat menampung aku beserta saudaraku yang lain. Memiliki ruang tamu yang lumayan luas, kamar mandi yang terletak di luar rumah dan memiliki sumur yang aku pikir itu sudah tua. Rumah ini tak terlihat istimewa karena tak ada barang di dalamnya, kecuali tempat tidur di beberapa kamar saja.

Sejak aku datang ke rumah ini, kesan pertamaku “Menakutkan” meskipun aku tau tak bakal ada kejadian apapun karena di sini sangat ramai, ditambah saudaraku lebih banyak anak kecil. Akupun mulai mengemas barang yang kubawa, dan beristirahat sebentar sebelum bergabung dengan keluarga yang lain.

“Drett… Drett…” bunyi handphone yang membuatku tersadar dari tidurku, ketika kubuka ternyata sudah mendekat magrib dan aku terlalu pulas tidur, tanpa berlama-lama aku bergegas mandi. Saat aku mandi ada rasa takut dan tidak nyaman, tapi aku terus meyakinkan diriku kalau tak ada yang perlu ditakutkan dan aku pun melanjutkan mandi.

Setelah mandi aku berkumpul dengan keluarga sambil makan malam yang diiringi canda tawa, membuat aku lupa dengan rasa takut yang tadi kurasakan. Ketika jarum jam menunjuk ke angka sembilan, kami semua memutuskan untuk bubar dan masuk ke kamar masing-masing. Tentu saja satu kamar diisi beberapa orang, termasuk aku yang sekamar dengan adik perempuanku.

Kulihat adikku sudah tertidur lelap, sementara aku masih kesulitan tidur karena tadi sudah cukup tidur. Aku memejamkan mata, namun aku mendengar sesuatu. Samar-samar tapi tetap masih dapat kudengar suara itu.

“Krincing… Krincing… Krincing…” untuk pertama kali aku mendengar suara itu dan seingatku meskipun banyak anak kecil tapi mana mungkin mereka dibiarkan main sampai selarut ini.

Malam yang sunyi dengan hawa sekitar yang dingin, kulihat jam dan benar saja ini masih pukul dua pagi. Aku kembali memejamkan mata dan tidak ingin memikirkannya, mungkin khayalanku saja.

Ketika aku membuka mata ternyata sudah pagi, sinar matahari terlihat jelas dari jendela kamar ini. Aku mulai membersihkan diri dan bergabung kembali dengan keluarga yang lain. Saat kutanya adikku mungkin dia mendengar, tapi jelas saja dia tak mendengar-kan dia semalam tidur.

Dan ini malam kedua, aku berharap kejadian malam kemarin tidak ada lagi. Aku tertidur malam itu, tapi aku terbangun karena mendengar lagi suara yang kemarin. Kembali samar-samar suara itu ditelingaku, meski tetap dapat kudengar. Kali ini aku yakin, ini sambutan hangat dari penghuni rumah ini. Aku berusaha tidur dan tak mau memikirkan ini lagi.

Pagi cerah datang kembali, aku berhela napas lega karena dapat melewati malam yang membuatku merinding. Masih seperti rutinitas yang sama, aku membersihkan diri lalu bergabung dengan keluarga yang lain.

Malam ketiga ini aku memutuskan untuk tidur lebih dekat dengan adikku. Adikku juga sudah tau, aku menceritakan tentang kejadian kemarin dan responnya sedikit terkejut lalu berkata “Kalau kamu takut, aku akan lebih takut lagi,” yayaya akupun berpikir begitu sih, dan memilih tidur dalam harapan tidak ada terjadi yang tak diinginkan.

Namun lagi-lagi aku mendengarnya, suara itu seperti berjalan di lorong luar kamar ini. Aku berusaha membangunkan adikku, tapi dia tidur seperti orang mati. Suara itu dekat dan semakin mendekat, kurasakan detak jantungku semakin cepat sampai aku rasa atmosfer sekitarku semakin menipis.

“Krincing… Krincing… Krincing…” suara itu terus kudengar tepat jam dua pagi. Ada apa? Mengapa hanya aku yang mendengarnya? Kudengar suara ketukan pintu dan kuyakin ini jelas pintu kamarku.

“Tok… Tok… Tok…” aku diam mendengarkan dan tak berani sekalipun bergerak.

“Tok… Tok… Tok…” aku masih tetap diam dan berusaha membangunkan adikku yang susah sekali bangun. Dan sesaat setelah suara ketukan pintu itu hilang, aku sedikit merasa lega.

“Ceklek…” suara pintu terbuka, kulihat gagang pintu kamarku seperti ada yang membukanya. Tapi seingatku sebelum tidur aku sudah mengunci pintu itu dan aku sudah mengeceknya berulang kali.

Ada seseorang dan aku menunggu siapa yang masuk, tapi lama sekali. Sampai ketika dia masuk, dia memakai gelang kaki dan aku yakin suara yang selama ini kudengar berasal dari gelang kaki itu. Menunggu responku? Sudah jelas badanku mati rasa, dari ujung rambut hingga kaki tak satupun bisa ku gerakkan bahkan mulutku serasa dikunci.

Jika dilihat lebih saksama, yang dihadapanku ini merupakan perempuan pucat dengan kaki pincang dan wajah yang hancur.

Dia menatapku dengan tatapan dingin, seolah tak suka melihatku. Aku berusaha berpikir apa yang harus kulakukan. Dengan sekuat tenaga aku memukul badan adikku tapi masih tidak ada respon, aku berusaha membuka suara dan berteriak memanggilnya tapi tetap hasilnya nihil.

Aku mengumpulkan niat dan mulai membaca ayat yang terlintas di kepalaku, aku ingin sekali membaca Surat Yasin yang aku yakin itu mampu mengusirnya. Namun sial aku mendadak lupa apa awalan dari surat itu, aku berusaha yakin dan membaca doa apapun untuk melindungiku.

“Jdarr…” tiba-tiba suara keras mengejutkanku, dan lebih mengherankan lagi kuliat cahaya yang membentuk kaca tepat diantara aku dan perempuan itu. Aku yakin ini merupakan bantuan, dan aku semakin berani untuk membaca doa.

Aku tak tau harus berkata apa, perempuan itu berusaha menghancurkan kaca itu dengan mencakarnya. Namun ia tak berhasil, kaca itu mungkin lebih kuat.

Sampai akhirnya, ia menyerah dan berbalik badan. Berjalan ke arah pintu lalu menembusnya, seketika kaca itu hilang tanpa aku sadari. Aku memberanikan diri untuk berjalan ke arah pintu untuk memeriksa apa sebenarnya yang barusan kualami.

Kulihat pintu itu masih seperti semalamsaat aku menguncinya. Kembali aku berjalan ke tempat tidur dan aku memejamkan mata sambil berterimakasih dalam hati. Sebab pertolongan yang tak pernah kubayangkan datang di saat aku membutuhkan.

Pagi hari kembali, dan aku menceritakan kepada adikku pengalaman yang aku alami semalam. Adikku jelas sangat terkejut sampai ia merasa antara percaya atau tidak dengan ceritaku. Aku tak perduli tapi menurutku itu merupakan teguran bagiku untuk lebih banyak bersyukur.

Beberapa kali aku melihatnya di pojok kamar, tapi aku hanya tersenyum sambil berkata tolong jangan ganggu, karena kami di sini gak ganggu. Kami numpang sebentar yaa..

Dan setelah itu aku tidak diganggu lagi, sampai acara sunatan ini selesai dan aku pulang ke tempat asalku bersama dengan keluarga yang lain. (C/Perspektif)