Berita

Sri Wahyuni, Wira dari Dataran Tinggi Gayo

×

Sri Wahyuni, Wira dari Dataran Tinggi Gayo

Sebarkan artikel ini

Darussalam – Ibu Sri Wahyuni merupakan  ibu dari tiga anak yang memiliki segudang prestasi.  Sri Wahyuni berasal dari Bener Meriah, Kabupaten  Aceh Tengah.  Beliau lahir pada tanggal 18 Juli 1978, memulai pendidikan formal di SD Negeri 2 Weh Pesam, pada tahun 1991 beliau melanjutkan pendidikannya  di Mtsn Gandapura, Aceh Utara. Memasuki jenjang SLTA beliau melanjutkan sekolah di MAN Lhokseumawe, Aceh Utara pada tahun 1994. Setelah menyelesaikan SLTA beliau memasuki masa mahasiswa di  IAIN Ar Raniry (Sekarang UIN Ar Raniry) Jurusan Pidana dan Politik pada tahun 1997 ketika konflik pra-reformasi mulai bergejolak.

Selain dari pendidikan formal, beliau juga mendapatkan pendidikan informal dari membaca buku dan majalah. Sejak kecil Ibu Sri sudah dibiasakan membaca oleh ibunda, walaupun hanya bermodalkan majalah bekas. Beliau beserta sembilan saudaranya tetap membaca majalah anak-anak tersebut bahkan tidak jarang mereka kerap berdebat seputar info yang mereka dapatkan, sehingga dengan kebiasaan itu, jiwa aktivis beliau mulai terbentuk. Ketika masih berkuliah, beliau sudah aktif dalam berbagai aksi untuk menuntut Soeharto turun dari takhta kepresidenan. Beliau juga turut meramaikan panggung terbuka yang dibentuk para mahasiswa pada masa itu, dengan ilmu pengetahuan yang telah dipupuk sejak dini, sehingga Ibu Sri sering naik panggung untuk berorasi terkait konflik pada masa itu.

Kini ibu dari 3 orang anak ini berprofesi sebagai Pengacara dan Konsultan Hukum setelah menyelesaikan pasca sarjananya di Program Magister Ilmu Hukum (S2 Unimal) Lhokseumawe. Namun dibalik pencapainnya itu, beliau memiliki kisah pilu dengan keluarganya, lebih tepatnya kasus Pak Cik atau paman beliau yang merupakan seorang anggota Tentara Negara Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) di penjara selama 14 tahun, akibat dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ibu Sri memiliki hubungan yang erat dengan pak ciknya, sehingga ketika terbebas dari masa tahanan, Ibu Sri mencoba mengulik kisah yang dialami oleh Pak Ciknya. Bahkan ketika menceritakan kembali tentang Pak Ciknya, Beliau meneteskan air mata. Mendengar beliau menceritakan kembali kisahnya selama di penjara, Ibu Sri juga menuangkan kisah yang didengarnya tersebut dalam tulisan. Sebelum Pak Ciknya wafat, Ibu Sri mengucapkan janji untuk mempublikasi kisah Pak Ciknya selama proses penahanan.

Dengan tekad untuk menunaikan janji kepada sang Pak Cik serta untuk memberi edukasi kepada kaum muda, Ibu Sri membuat sebuah buku yang berisi kisah suram Pak Ciknya tersebut. Selain itu, Ibu Sri juga memiliki keinginan untuk membersihkan nama sang Pak Cik dari tuduhan yang tidak pernah dilakukanya. Bermodalkan kisah yang didengarnya secara langsung, kini beliau hampir menyelesaikan karyanya tersebut dan hanya menunggu waktu untuk proses penerbitannya.

Namun, dalam tekadnya untuk menunaikan janji Ibu Sri miliki rasa takut tersendiri, apalagi hal yang ingin beliau angkat adalah suatu hal yang sangat sensitif, untuk itu Ibu Sri berusaha untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan, jika data tersebut sudah selesai dihimpun, akan disertai dalam karyanya tersebut.

Dalam kehidupannya sehari-hari selain sebagai Pengacara dan Konsultan Hukum, kini Ibu Sri juga kerap menjadi pembicara dalam acara atau seminar.

 

 (Perspektif/Sandrina&Dhaf)