Darussalam – Takengon adalah tempat yang khas dengan kopinya. Jika dewasa ini marak kedai kopi di tengah kota dengan tempat yang cozy dengan sentuhan modern, kedai kopi yang satu ini unggul dengan keunikannya sendiri. Disini pengunjung duduk di pondok – pondok yang sepenuhnya terbuat dari kayu, sehingga membuat pengunjung lebih santai dan bisa merasakan sensasi ngopi di kebun kopi. Kedai ini dibuat sebagai tempat “Coffee Education Tourism.”
Galeri Kopi Indonesia (GKI) itulah nama dari kedai kopi unik ini. Meski tak mengikuti trend dan tidak menyediakan wifi, namun tetap menjadi pusat perhatian wisatawan yang melewati Takengon. Bagaimana tidak, pasalnya selain menyediakan tempat yang unik bertemakan agrowisata, GKI ini menyediakan berbagai seduhan kopi dengan cita rasa yang luar biasa enak dan unik hasil kreasi owner dan barista yang tentunya akan memanjakan lidah para penikmat kopi, begitupun dengan menu non-kopinya.
Syahrul Iman sebagai pemilik GKI juga sangat handal dalam mengolah biji kopi tanpa peralatan modern, menggiling dengan terampil, menyeduhnya dengan hati dan keterampilan yang tidak perlu diragukan. Sang pemilik GKI tidaklah mendapati kesuksesannya dengan instan, beliau adalah pria asli Tanah Gayo yang mencintai tanah kelahirannya dan hasil alamnya yakni kopi. Tanpa latar belakang sosial dan pendidikan yang mumpuni namun tetap bisa membuatnya menjadi lebih maju dengan caranya sendiri. Beliau sempat menjadi pelatih musik dan teater untuk membiayai kuliahnya sendiri.
Bermodalkan tanah dari orang tua yang masih berbentuk hutan belukar, ia menggarap tanah tersebut agar layak dipakai berproduksi. Ia pun memulai dengan membuka mini bar di halaman rumahnya yang berada di samping tanah yang sudah digarap sebelumnya. Teman-teman terdekatlah yang mulanya merasakan kenikmatan kopi yang diraciknya sendiri dan mulai mendukung serta mempromosikan bar kopi kecilnya yang masih kurang dalam hal bahan dan peralatan.
Ia mendapat ilmu dan kemahiran perihal kopi bukan dengan belajar langsung dari para ahli melainkan ia belajar melalui mendengar dan melihat kegiatan para ahli kopi di warung kopi tempatnya bekerja dahulu di Tanah Gayo. Mungkin memang ia adalah orang yang berbakat dalam menyerap ilmu, karena setelahnya ia pernah mengikuti lomba mengenai kopi maka ia yang memang pantas pun terpilih menjadi Duta Kopi Gayo 2016. Setelahnya GKI pun semakin banyak menarik perhatian pengunjung.
Omset yang didapat dari GKI ini sudah lebih dari cukup menurut sang pemilik untuk kebutuhan hidup. Omset yang naik, turun, ataupun stabil semuanya adalah anugrah dari Tuhan dan patut disyukuri dan ia selalu merasa cukup.
Pelayanan dan informasi yang lengkap, akurat juga adalah prioritas tempat ini. Menurut sang pemilik, kopi adalah wisata hidung dan mulut. Pengunjung tempat ini tidak melulu penikmat kopi, melainkan orang-orang yang masih asing dengan kopi pun turut berkunjung. Barista di tempat ini mampu menjabarkan pilihan kopi yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan pengunjung; kopi yang pahit, manis, hingga asam tersedia di tempat ini. Menjual kopi sesuai selera pelanggan, karena rasa enak dari kopi adalah relatif tergantung penilaian pribadi setiap orang dan tergantung pada cara meminumnya. “Tidak hanya menjual kopi yang enak namun menjual kopi yang sehat” itulah jargon GKI yang disebutkan sang pemilik.
Kepuasan pelanggan adalah prioritas itulah kenapa meski sudah sukses dengan GKI beliau tidak berencana memperluas lahan ataupun membuka cabang lain, sang pemilik hanya ada satu di dunia ini, harus ada satu lagi yang persis sepertinya jika ingin membuka cabang di tempat lain. GKI juga menyediakan marchendise khas GKI yang didesain sendiri oleh sang pemilik sehingga tidak akan ditemukan di tempat lain. Strategi beliau menghadapi pesaing adalah dengan terus melakukan hal-hal baru yang berbeda dengan pesaingnya.
(Perspektif/ Dinda & Savina)