“Gubuk ini baru saja tegak berdiri 3 tahun lalu dan kita telah membangunnya bersama selama lebih dari 6 tahun, memang terkadang bocor ketika hujan, panas ketika terik, bahkan beberapa tiang mulai roboh ketika badai, mungkin kita juga sudah sangat “lelah” menghadapi perubahan cuaca tak menentu ini. Wajar, sangat manusiawi, sekali-sekali, tebersit di hati ingin gubuk yang lebih baik, mudah-mudahan saja kita tak mencari gubuk yang lain hanya karena ia tak sesempurna seperti gubuk lainnya yang terlihat sempurna dari luar…..
terlebih kini terdapat lubang besar menganga di dindingnya sehingga menggoyahkan tiang penyangga utamanya. Kita harus tenang. Jika bersabar, mungkin, kita akan mampu memperbaiki segalanya. Memang akan lama… namun jika kita melakukannya bersama, kuyakin akan indah walau sangat lelah. Karena kita bersama namun jika sudah tak ingin bersama di gubuk ini. Sudahlah… tak apa, jangan memaksakan diri dan jangan sekali-sekali mengajakku meninggalkannya, gubuk ini, gubuk kita ini karena aku kan tetap di sini.
walau sendiri… akan kuperbaiki, akan kupegang erat tiang penyangganga utamanya agar gubuk ini berdiri kembali. Akan kuperbaiki atap- atap bocornya, akan kuperbaiki semuanya walau tak sempurna di mata mereka. Dan yang terpenting akan kuperbaiki lubang dindingnya… menjadi sebuah jendela. Takkan kubiarkan siapa pun memasuki gubuk ini hingga kau kembali… membuka jendela ini… bersama… karena gubuk ini sedari dulu kita bangun bersama.
Ya, bersama kita akan melihat kesempurnaan dalam kekurangan di gubuk ini, melihat taman-taman indah nan menawan di pelataran melalui jendela ini… bersama melihat kesempurnaan gubuk ini dari dalam. Bukan seperti orang-orang yang selalu melihat ketidaksempurnaan di sini hanya karena mereka melihatnya dari luar….
Dari Luar Jendela..
Banda Aceh, 3 Oktober 2008