Darussalam — Benarkah ekonomi Indonesia benar-benar tumbuh pesat, atau ada ketidakselarasan di balik angka-angka resmi pemerintah?
Sejumlah ekonom menyoroti adanya kejanggalan pada data pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Bahkan, muncul dugaan adanya rekayasa dalam penyajian data tersebut. Center of Economic and Law Studies (CELIOS), sebuah lembaga riset independen berbasis di Jakarta, turut menyampaikan kritik bahwa data resmi pemerintah seharusnya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting karena data BPS menjadi rujukan utama dalam perumusan kebijakan, penelitian akademis, analisis perbankan, pengambilan keputusan dunia usaha termasuk UMKM, serta menjadi pedoman masyarakat secara umum.
CELIOS yang dipimpin oleh Bhima Yudhistira, dikenal aktif mengkaji isu-isu seperti keadilan fiskal, transisi energi, dan analisis makroekonomi berbasis data. Dorongan terhadap transparansi metodologi perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menguat setelah CELIOS secara resmi meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaudit data pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2025 yang dirilis BPS.
CELIOS menilai terdapat ketidaksesuaian antara data resmi BPS dan indikator ekonomi lapangan, misalnya angka pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 yang dilaporkan sebesar 5,12% dinilai tidak sejalan dengan fakta di lapangan. Beberapa indikator yang menimbulkan keraguan antara lain kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur, peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), serta melemahnya indeks keyakinan konsumen.
Wijayanto, Staf Khusus Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Ekonomi dan Keuangan, bahkan menyebutkan bahwa perhitungan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 kemungkinan besar tidak mencapai 5%, melainkan hanya sekitar 4,6 hingga 4,8%. “Jika data BPS tidak valid, Indonesia berpotensi kehilangan peluang untuk maju, karena kebijakan penting didasarkan pada data yang keliru,” ujarnya.
Kebijakan berbasis data yang tidak akurat dapat menimbulkan risiko serius. Pemerintah bisa saja salah langkah, misalnya menunda program pemulihan ekonomi, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap kondisi ekonomi baik-baik saja. Padahal, pelaku usaha, investor, UMKM, hingga masyarakat luas bisa terkena dampak negatif dari kebijakan yang tidak sesuai dengan realitas.
Keraguan publik terhadap data BPS sebagian besar muncul karena kurangnya keterbukaan. Transparansi tidak cukup hanya dengan merilis angka pertumbuhan dan narasi singkat, tetapi harus dibarengi dengan pembukaan metadata dan metodologi perhitungan PDB secara lengkap. Publik berhak mengetahui dari mana sumber data diambil, bagaimana pembobotan sektor dilakukan, metode estimasi yang digunakan, hingga sejauh mana data tersebut dapat diverifikasi oleh pihak independen.
Langkah keterbukaan ini bukan bertujuan meragukan BPS, melainkan memperkuat posisinya sebagai lembaga negara yang kredibel. Dengan membuka data secara utuh, angka yang dipublikasikan akan lebih dihormati karena dapat diuji ulang dan tidak menyisakan ruang spekulasi.
Perlu diingat bahwa data PDB bukan sekadar statistik. Data tersebut menjadi landasan penting dalam perumusan kebijakan, penentuan arah investasi, hingga dasar pemberian stimulus ekonomi. Jika data tidak sesuai dengan kondisi riil, kebijakan yang lahir pun berpotensi tidak tepat sasaran.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga transparansi penuh dari BPS dalam setiap tahap pengolahan data. Dengan begitu, data yang dirilis bukan hanya dipercaya publik, tetapi juga benar-benar dapat menjadi dasar kebijakan yang tepat, menjaga arah investasi, serta memberi kepastian bagi dunia usaha dan masyarakat.
(Perspektif/Assyifa)
Editor: Nabila Anris Putri











