Darussalam – Pada awal tahun 2025, Indonesia menghadapi tantangan besar dengan turunnya penerimaan pajak hingga 30,1% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pada awalnya, penerimaan setoran pajak Indonesia mencapai Rp269,02 triliun. Namun, hingga 28 Februari, angka tersebut turun menjadi Rp187,8 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya harga komoditas unggulan seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit, yang sebelumnya menjadi penyumbang utama pendapatan negara. Selain itu, transisi ke sistem perpajakan yang baru (Coretax) juga mengalami kendala teknis yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaporan dan pembayaran pajak oleh wajib pajak.
Dampak dari penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) Pajak Penghasilan (PPh) 21 menyebabkan timbulnya lebih bayar tahun 2024 baru diklaim di masa pajak januari dan februari 2025 yang mengakibatkan penerimaan PPh pasal 21 di periode Januari sampai Februari mengalami penurunan. Meskipun demikian, pemerintah tetap optimistis mempertahankan proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 sebesar 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp616,2 triliun, dengan harapan kebijakan baru dapat meningkatkan penerimaan pajak dalam beberapa bulan mendatang.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan menilai bahwa penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama 2025 masih berada dalam tren yang wajar. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pola setoran pajak tahunan biasanya menunjukkan penerimaan yang lebih rendah pada Januari dan Februari. “Penerimaan negara memang mengalami penurunan tapi polanya sama dan dalam hal ini beberapa dikarenakan adanya measure policy,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (APBN KiTa), Kamis, 13 Maret 2025.
Sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara, pemerintah telah menyetujui kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara selektif. Mulai 1 Januari 2025, tarif PPN naik menjadi 12% untuk barang mewah, sementara barang konsumsi umum tetap dikenakan tarif 11%, dan barang kebutuhan pokok tetap bebas pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah, sembari tetap meningkatkan penerimaan negara. Selain itu, Indonesia juga mulai menerapkan pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan tahunan lebih dari 750 juta euro atau setara dengan sekitar Rp12,5 triliun. Langkah ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan besar yang sering memindahkan keuntungan ke negara dengan pajak rendah.
Namun, implementasi kebijakan perpajakan baru ini menghadapi berbagai kendala teknis yang menghambat operasional bisnis. Gangguan sistem pelaporan pajak, ketidaksesuaian data, serta kurangnya sosialisasi membuat banyak wajib pajak kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Direktorat Jenderal Pajak telah mengakui masalah ini dan berkomitmen untuk memperbaiki sistem serta memberikan pendampingan kepada wajib pajak agar proses administrasi perpajakan dapat berjalan lebih lancar.
Meskipun penerimaan pajak menurun, kebijakan fiskal tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem perpajakan serta memperkuat pengawasan untuk memastikan kebijakan yang diterapkan berjalan efektif dan berdampak positif bagi perekonomian nasional.
(Perspektif/ Intan Dwi Yanti)
Editor : Akif











