Darussalam – Ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi isu serius yang memerlukan perhatian dan penanganan mendalam dari pemerintah serta aparat penegak hukum. Banyak faktor yang menyebabkan peningkatan pelecehan atau kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah faktor individu, kurangnya pemahaman tentang seksualitas, masalah psikologis, serta pengaruh zat adiktif. Selain faktor individu, banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap tingginya angka pelecehan, termasuk pengaruh media dan tekanan sosial.
Dilansir dari hukumonline.com, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyatakan bahwa salah satu penyebab meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak di Aceh adalah karena Qanun Jinayat di Aceh hanya berfokus pada menghukum pelaku dan tidak memperhatikan hak-hak korban. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tergolong ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Menurut catatan LBH Aceh melalui Rumah Bagi Anak Korban Kekerasan, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan tingginya kekerasan seksual di Aceh. Pertama, pola penanganan yang tidak komprehensif, terutama dalam memenuhi hak korban. Kedua, perspektif aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual masih kurang memadai.
Data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistika Kriminal 2023 mengungkapkan adanya peningkatan kasus tindak kejahatan asusila di Indonesia. Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 1.164 kasus pemerkosaan. Angka ini meningkat tajam pada tahun 2022 menjadi 1.443 kasus pemerkosaan. Data yang dirilis BPS berasal dari laporan Kepolisian Daerah (Polda), yang mengindikasikan peningkatan ancaman kekerasan seksual di Indonesia.
Provinsi Aceh terdata sebagai salah satu provinsi dengan kasus tindak kejahatan asusila terbesar di Indonesia. Hal ini terbukti dengan peningkatan kasus dari 70 kasus pada tahun 2021 menjadi 135 kasus pada tahun 2022. Ini merupakan situasi yang cukup ironis jika dibandingkan dengan penerapan Syariat Islam di Aceh. Fakta ini juga menunjukkan bahwa kasus tindak kejahatan asusila dapat terjadi tanpa memandang latar belakang apapun.
Maraknya kasus kekerasan seksual telah menjadi perhatian khusus dalam lingkup pendidikan, sebagai salah satu lingkungan potensial terjadinya kekerasan seksual. Berdasarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, diperlukan upaya optimalisasi dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi.
Universitas Syiah Kuala, sebagai salah satu institusi pendidikan di Aceh, menanggapi hal ini secara preventif melalui pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sebagai respons terhadap kasus kekerasan seksual di Aceh dan pengimplementasian Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Universitas Syiah Kuala telah menyediakan ruang kerja PPKS, dan pihak satgas juga memfasilitasi website untuk informasi dan pengaduan melalui tautan dan sistem online. Langkah ini bertujuan untuk memudahkan para korban yang mungkin merasa enggan melaporkan kasus mereka secara langsung.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi tingginya angka pelecehan seksual meliputi pendidikan seksual yang komprehensif sejak dini, memberikan pemahaman tentang tubuh dan batasan, membangun kesadaran akan pentingnya saling menghormati dan menghargai, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual melalui berbagai media, menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku pelecehan, serta membuat peraturan yang lebih melindungi korban dan memberikan sanksi yang berat bagi pelaku.
(Perspektif: Dauria Edba/Nur Shadrina H. Kumala)
Editor : Zaidan Shadiq R