Darussalam – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seolah-olah tidak pernah jera untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial. Terbaru, Pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap dapat menyandera independensi para hakim konstitusi. Sesungguhnya, banyak poin yang harus dikritisi dan dievaluasi dalam RUU Perubahan keempat UU MK ini, namun penulis hanya akan fokus memberikan pandangan dan analisis pada beberapa pokok permasalahan yang dapat memengaruhi independensi hakim saja.
Sebelum membahas permasalahan-permasalahan dalam RUU ini, ada baiknya kita mengulas kembali mengenai kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi beserta komposisi para hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yakni:
- Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Adapun mengenai komposisi para hakim konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”
Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, para hakim konstitusi ini haruslah independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Memasuki permasalahan yang terdapat dalam RUU Perubahan Keempat UU MK, maka pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa RUU ini masih terlalu berkutat pada hal-hal yang tidak substansial seperti proses rekrutmen hakim dan masa jabatan hakim? Apakah revisi ini dilakukan atas dasar asas kebutuhan akan hukum atau hanya sebatas kebutuhan politik? Seharusnya, revisi UU MK dilakukan untuk tujuan yang substansial dan sesuai dengan kebutuhan hukum yang ada di tengah masyarakat, misalnya untuk memperkuat MK secara kelembagaan, melindungi independensi hakim, dan melengkapi hukum acara MK, khususnya mengenai pembubaran partai politik dan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sampai saat ini belum diatur secara konkret dalam UU MK.
Selanjutnya, mengenai pasal yang dinilai kontroversial, misalnya Pasal 87 yang menyatakan bahwa hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan persetujuan ulang dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun. Padahal dalam Pasal 23A telah diatur bahwa masa jabatan hakim MK adalah 10 tahun.
Permasalahan pertama adalah mengapa diatur masa jabatan selama 10 tahun jika selanjutnya diharuskan untuk mendapatkan persetujuan ulang dari lembaga pengusul setelah 5 tahun menjabat. Bukankah lebih baik diatur masa jabatan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 5 tahun berikutnya apabila memperoleh persetujuan ulang dari lembaga pengusul? Pengaturan mengenai masa jabatan 10 tahun dengan syarat tambahan harus memperoleh persetujuan ulang setelah 5 tahun menjabat ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Permasalahan kedua adalah adanya potensi bahwa persyaratan memperoleh persetujuan ulang dari lembaga pengusul akan digunakan untuk menekan para hakim konstitusi agar memutuskan suatu perkara sesuai dengan kepentingan lembaga pengusul. Pasal ini dapat digunakan untuk mengancam atau menyandera hakim konstitusi agar tidak berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan lembaga pengusul. Jika tidak, persetujuan ulang untuk masa jabatan 5 tahun berikutnya bisa tidak dikabulkan oleh lembaga pengusul. Hal ini bisa terjadi karena belum ada aturan apakah evaluasi untuk memperoleh persetujuan ulang ini benar-benar hanya melibatkan penilaian atas kinerja saja ataukah penilaian yang sifatnya politis berupa kepentingan lembaga pengusul.
Dugaan ini bukan hanya asumsi liar, tetapi dapat dilihat secara kasat mata dalam kasus pencopotan Mantan Wakil Ketua MK Aswanto. Hakim Aswanto yang diusulkan oleh DPR, pada saat itu mengeluarkan dissenting opinion terhadap UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh DPR. Tak berselang lama, DPR kemudian mencopot jabatan Aswanto sebagai hakim konstitusi, padahal dalam UUD NRI Tahun 1945 DPR hanya berwenang untuk mengusulkan hakim konstitusi. Jika pencopotan hakim Aswanto adalah upaya pelemahan independensi hakim secara melawan hukum, maka revisi keempat UU MK ini adalah upaya pelegalan terhadap pelemahan independensi hakim.
Revisi UU MK seharusnya difokuskan pada hal-hal substansial seperti penguatan MK secara kelembagaan, melindungi independensi hakim, dan melengkapi hukum acara MK, bukan malah melakukan revisi yang dapat melemahkan independensi hakim MK. Hal serupa juga seharusnya berlaku untuk lembaga-lembaga independen seperti KPK dan KPU.
(Mahasiswa USK/ Muhammad Erlangga Nasution)
Editor: Yulisma Mahbengi