Darussalam – Setelah menjabat sebagai Presiden ke-45 di periode jabatan 2017—2021, Donald John Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 dengan periode jabatan 2025-2029. Ia memenangkan pemilihan umum AS 2025 dengan meraih 277 dari total 538 suara elektoral. Namun, sejak dilantik pada 25 Januari 2025, beberapa kebijakan yang diambil oleh Trump menuai banyak kontroversi. Salah satunya adalah kebijakan pelarangan penerimaan mahasiswa asing di Universitas Harvard serta pembekuan dana federal untuk institusi pendidikan tinggi tersebut.
Perseteruan ini bermula dari konflik Israel-Gaza pada Oktober 2023 yang memicu protes pro-Palestina secara besar-besaran di kampus Harvard. Protes ini menuai kecaman dan tuduhan dari pemerintahan Trump yang menganggap bahwa Harvard menjadi pusat antisemitisme, mendukung kekerasan, dan bekerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok.
Puncaknya terjadi pada 11 April 2025, ketika pemerintah AS mengirimkan surat resmi kepada Harvard yang menyatakan bahwa universitas tersebut gagal memenuhi persyaratan hak sipil dan hak intelektual yang menjadi dasar pendanaan federal. Pemerintah menuntut perubahan tata kelola internal universitas, reformasi prosedur penerimaan mahasiswa, penghapusan program keberagaman, serta audit ulang terhadap beberapa program akademik universitas, terutama yang berkaitan dengan Timur Tengah. Namun, Harvard menolak seluruh “tuntutan Gedung Putih” tersebut dengan tegas dan tidak akan menyerahkan independensi serta hak-hak konstitusionalnya.
Pada 14 April 2025, pemerintah AS secara resmi mengumumkan pembekuan dana federal, termasuk hibah multitahun senilai USD 2,2 miliar dan kontrak multitahun USD 60 juta. Trump juga mengancam akan mencabut status pembebasan pajak Harvard jika tidak melaksanakan seluruh “tuntutan Gedung Putih.”
Tidak berhenti sampai di situ, pada 22 Mei 2025, Trump mencabut izin Harvard untuk menerima mahasiswa asing, yang jumlahnya sekitar 31% dari total mahasiswa di kampus tersebut. Pemerintah AS, melalui Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, mengumumkan pencabutan izin Student and Exchange Visitor Program (SEVP). Kebijakan ini secara langsung berdampak pada penerimaan mahasiswa asing baru dan memaksa mahasiswa internasional yang sedang menempuh studi di Harvard untuk pindah ke universitas lain. Trump beralasan bahwa negara-negara asal mahasiswa asing tersebut tidak memberikan kontribusi finansial ke Harvard, sementara pemerintah AS justru menjadi penyumbang dana utama untuk Harvard. Trump juga menyatakan bahwa jumlah mahasiswa asing yang terlalu banyak dapat mengurangi kesempatan warga Amerika untuk kuliah di Harvard.
Menanggapi seluruh rangkaian kebijakan ini, pihak Harvard menggugat kembali pemerintah AS ke Pengadilan Federal Boston, Massachusetts, pada Jumat, 23 Mei 2025. Gugatan tersebut terutama terkait dengan tindakan pembekuan dana dan pencabutan izin SEVP karena dianggap melanggar hukum dan bersifat balas dendam. Pencabutan izin tersebut juga dianggap melanggar prosedur konstitusional karena Menteri Keamanan Dalam Negeri AS mencabut SEVP tanpa periode banding selama 30 hari.
Selain itu, Pemerintah AS juga meminta Universitas Harvard untuk menyerahkan data pribadi mahasiswa internasional, termasuk tugas kuliah, riwayat disiplin, dan catatan hukum. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap privasi serta prinsip kebebasan akademik. Permintaan tersebut telah menjadi sebuah tekanan yang tidak berdasar dan melanggar kebebasan berbicara serta kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS.
SEVP pada dasarnya merupakan program yang mengatur status visa pelajar asing di AS. Pemerintah AS sebenarnya harus mengikuti prosedur administratif yang jelas dan proporsional dalam mencabut suatu sertifikasi institusi pendidikan. Gugatan dari Harvard menunjukkan bahwa pemerintahan Trump telah melanggar peraturan federal yang mengatur proses pencabutan SEVP secara tepat dan transparan. Pencabutan sertifikasi SEVP tanpa pemberian kesempatan yang adil kepada pihak Harvard untuk membela diri dan tanpa proses hukum yang memadai juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip “due process” sebagaimana yang diatur di dalam Konstitusi AS.
Setelah gugatan hukum diajukan, “Sang Hakim” Allison Burroughs menjatuhkan putusan awal yang memerintahkan penangguhan sementara terhadap kebijakan Trump itu. Hakim Allison menilai tindakan Trump melalui Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS merupakan suatu tindakan yang inkonstitusional karena melanggar prinsip due process dalam Administrative Procedure Act (APA) dan Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, kebijakan Trump itu ditangguhkan selama dua pekan ke depan, dihitung sejak hari dijatuhkannya putusan.
Pencabutan izin mahasiswa asing pada akhirnya juga berpotensi merusak reputasi AS sebagai tujuan utama pendidikan internasional. Perseteruan ini merupakan puncak dari konflik yang menyatukan berbagai isu seperti hukum, politik, sosial, dan akademik. Dalam hal ini, pemerintahan Trump menggunakan instrumen negara untuk menekan Harvard agar tunduk pada agenda politik dan kepentingannya. Sementara itu, pihak Harvard berusaha mempertahankan otonomi, kebebasan akademik, dan prinsip inklusivitasnya, meskipun menghadapi risiko kehilangan dana miliaran dolar dan tekanan politik yang luar biasa. Konflik ini tidak hanya berdampak pada Universitas Harvard secara internal, tetapi juga berimplikasi luas terhadap pendidikan tinggi, kebebasan akademik, dan posisi AS dalam kancah pendidikan global.
Dampaknya juga terasa di bidang ekonomi. Pencabutan SEVP berpotensi merugikan Harvard secara finansial dikarenakan mahasiswa asing menyumbang USD 75.000 per tahun atau lebih dari 35% pendapatan Universitas Harvard. Bahkan, jika pencabutan SEVP dilaksanakan secara masif, hal ini juga dapat berdampak pada pemerintah Amerika Serikat yang berisiko kehilangan 25% mahasiswa internasional atau sekitar 1,1 juta mahasiswa yang setara dengan USD 45 miliar per tahun bagi perekonomian negara.
(Perspektif/ Asafarsa & Salman Al Farisi)
Editor: Nana











