Darussalam – Sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, permasalahan keadilan terhadap perempuan masih belum terselesaikan. Kasus kekerasan terhadap perempuan masih terlampau banyak setiap tahunnya. Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DPPPA Aceh), jumlah kasus kekerasan perempuan di provinsi Aceh dari Januari hingga Mei tercatat sebanyak 182 kasus.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh, yaitu kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang mendukung kekerasan seksual, seperti budaya patriarki yang kuat, kurangnya kesadaran hukum, dan kondisi ekonomi. Budaya patriarki yang kuat di masyarakat sering kali mengakar dalam norma-norma sosial yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang inferior. Apa pun faktor penyebabnya, penyelesaian masalah kekerasan terhadap perempuan harus segera dilakukan. Dalam perspektif agama, kekerasan terhadap perempuan sangat dikecam; sebaliknya, perempuan seharusnya dimuliakan dan dijaga martabat serta kehormatannya.
Nahasnya, terkadang perempuan sebagai korban kekerasan seksual justru disalahkan karena pakaian atau perilaku mereka. Padahal, kejahatan muncul secara subjektif karena kecacatan pemikiran oknum tersebut. Penting untuk menyadari bahwa kekerasan merupakan bentuk ketidakadilan gender, yang mengimplikasikan asumsi bahwa laki-laki merupakan gender yang lebih superior dibandingkan perempuan. Segala bentuk kekerasan dapat menyebabkan dampak bagi perempuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan kekerasan terhadap perempuan adalah dengan membuat kebijakan yang berpihak pada korban. Kebijakan tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, implementasinya di lapangan sering kali menghadapi berbagai kendala, seperti kurangnya sosialisasi dan dukungan dari masyarakat. Begitu pula di tingkat daerah, terdapat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Penyelesaian masalah kekerasan terhadap perempuan bukan hanya menjadi beban pemerintah atau aktivis feminisme. Peran aktif komunitas, seperti organisasi non-pemerintah dan kelompok perempuan, sangat penting dalam menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan. Seluruh elemen masyarakat berperan penting untuk mengembalikan marwah perempuan dan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perempuan di Aceh merasakan perlindungan serta keadilan sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Untuk itu, perlu adanya peningkatan kesadaran dan aksi secara holistik di masyarakat agar dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan.
Ketidakmerdekaan perempuan di Aceh merupakan bentuk pelecehan terhadap syariat Islam yang diterapkan di daerah tersebut. Aceh seharusnya menjadi daerah yang bebas dari kekerasan, baik terhadap perempuan maupun kaum minoritas lainnya. Namun, realitas menunjukkan bahwa masih banyak perempuan di Aceh yang menghadapi ketidakadilan dan kekerasan, baik dalam ruang publik maupun domestik. Melalui kolaborasi seluruh elemen masyarakat, diharapkan perubahan positif dapat tercipta, sehingga Aceh dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam memperjuangkan keadilan gender. Penerapan syariat Islam seharusnya mencakup upaya pencegahan dan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya hukuman untuk pelaku. Membangun kesadaran akan pentingnya hak perempuan tidak hanya berdampak pada perempuan itu sendiri, tetapi juga akan membawa kemajuan bagi seluruh masyarakat dan generasi mendatang. Penambahan tersebut dapat memberikan kedalaman dan konteks lebih pada diskusi mengenai isu-isu yang dihadapi perempuan di Aceh.
Suara Pembaca : Firhan Raimanda, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Ar-Raniry
Editor: Nyak Shafika