BeritaFeatures

Mengulik Momen dan Serba-serbi Perayaan Meugang di Kota Banda Aceh

×

Mengulik Momen dan Serba-serbi Perayaan Meugang di Kota Banda Aceh

Sebarkan artikel ini

Darussalam – Aceh merupakan salah satu daerah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, hingga saat ini Aceh masih memiliki tradisi yang dilestarikan. Salah satu tradisi itu adalah “meugang” atau juga dikenal dengan berbagai sebutan antara lain Makmeugang, Uroe Meugang atau Uroe Keuneukoh.

“Gang” dalam bahasa Aceh berarti pasar. Pada hari-hari biasa pasar tidak banyak dikunjungi masyarakat. Namun, menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga muncullah istilah “Makmu that gang nyan” (makmur sekali pasar itu) atau Makmeugang.

Tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh yaitu sekitar abad ke-14 M. Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh Darussalam, beliau ingin melakukan tradisi meugang itu. Sultan memerintahkan kepada para petinggi istana untuk membagikan daging kepada rakyat. Tradisi ini memang tidak akan lekang dimakan waktu karena terus diwariskan secara turun temurun sampai sekarang.

Pasar-pasar tradisional di Aceh berdiri kokoh di antara pertokoan dan hiruk-pikuknya perkotaan, tepatnya ada empat lokasi yang sering dikunjungi masyarakat yaitu di pasar Al Mahirah Lamdingin Kecamatan Kuta Alam, pasar Peuniti Kecamatan Baiturrahman, kawasan Simpang Tujuh, Kecamatan Ulee Kareng dan jalan T.Nyak Arief, Darussalam Kecamatan Syiah Kuala. Ditemani hangatnya sinar matahari, saya berkesempatan mendatangi langsung di salah satu lokasinya yaitu pasar Al Mahirah.

Sejak lepas subuh sudah terlihat pondok-pondok jualan daging meugang yang dibuka pedagang. Birunya langit yang menandakan betapa teriknya matahari pun tidak menghilangkan semangat masyarakat untuk menyambut hari istimewa tersebut. Dari kejauhan, asap membumbung serta bau khas tercium yang berasal dari warung kuah belangong khas Aceh.

Daging-daging yang dibeli masyarakat akan dimasak menjadi menu-menu beraneka rupa. Setiap, daerah mempunyai ciri khas tersendiri dalam mengolah daging. Di kabupaten Aceh Besar, masyarakat biasanya menyajikan asam keueng. Bumbu asam keueng menyerupai masakan daging cincang padang, sie reboh (daging yang dimasak dengan cuka), dua menu masakan ini merupakan sajian khas dan wajib saat meugang tiba.

Selain dari pasar tersebut, kami juga berkesempatan mewawancarai mahasiswa FEB USK. M.Yodi Agam, remaja asli Medan yang merayakan meugang di Banda Aceh.

“Bagi abang pribadi yang sudah merasakan perayaan meugang di Banda Aceh, awalnya merasa aneh dan bingung. Kok tiba-tiba banyak yang jualan daging di tepi-tepi jalan, namun setelah mendengar dari beberapa kawan asli Banda Aceh bahwa meugang merupakan sebuah tradisi turun menurun yang telah berlangsung sejak lama dan merupakan perayaan untuk menyambut bulan Ramadhan. Tradisi meugang ini menimbulkan efek euforia yang sangat menarik untuk kita ikuti dan seluruh orang sangat gegap-gempita dalam mengikuti perayaan ini,” jelasnya.

Pembicaraan pun kian mengalir hingga timbul secercak rasa penasaran kami mengenai perbedaan meugang di Banda Aceh dan di luar Aceh. Sebagai seseorang yang tumbuh dan besar di Medan, Yodi menyebutkan bahwa perbedaannya terletak pada nama beserta hidangan yang akan disajikan. Di Medan tidak ada perayaan khusus untuk menyambut bulan Ramadhan, dan umumnya dalam menyambut bulan Ramadhan hidangan yang akan disajikan merupakan masakan berbahan ayam ataupun daging lembu, kambing dan lainnya. Namun, tidak ada kriteria khusus selayaknya tradisi meugang di Aceh yang kebanyakan orang-orang akan berbelanja daging-dagingan untuk hidangan menyambut bulan suci Ramadhan.

Sesampainya di pasar Al-Mahirah bernuansa putih yang dikombinasikan dengan bangunan vintage menjadi ciri khas yang melekat pada pasar kota Banda Aceh. Menurut para pedagang meugang tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya dikarenakan adanya perpindahan tempat dari pasar Peunayong ke pasar Al-Mahirah yang mengakibatkan sepinya pengunjung pasar sehingga tingkat pembelian menurun. Hal itu menyebabkan pedagang berinovasi untuk menjual daging secara online.

Dengan mencermati dan sedikit mengulik cerita dalam momentum meugang ini, semoga dapat kian meningkatkan semangat dalam menjaga tradisi ini, dan saling menghormati. Perayaan meugang ini juga menjadi momen penting untuk berkumpul seluruh keluarga. Biasanya pada hari meugang, anak dan sanak saudara yang merantau atau telah berkeluarga dan tinggal ditempat yang jauh, mereka akan pulang dan berkumpul di hari meugang. Nilai kebersamaan inilah yang ingin ditanamkan oleh para leluhur melalui tradisi meugang.

(Perspektif / Nadya)