BeritaFeaturesNasional

Misteri Di Balik Penggusuran Pulau Rempang

×

Misteri Di Balik Penggusuran Pulau Rempang

Sebarkan artikel ini

Darusaalam – Pulau Rempang adalah pulau di wilayah Pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Luas wilayah mencakup kurang lebih 16.583 km². Rempang terhubung langsung dengan Pulau Galang dan Pulau Batam melalui jembatan Barelang yang dibangun untuk memperluas otoritas Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam. Letak pulau ini berdekatan dengan  dua negara yaitu, Singapura dan Malaysia. Pulau ini juga dilalui jalur perdagangan dunia sehingga di nilai cukup potensial sebagai kawasan wisata, industri, dan perdagangan.

Belakangan ini, pulau tersebut menjadi sorotan masyarakat karna adanya konflik antar warga dan tim gabungan yang terdiri dari Tentara Republik Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indoesia (Polri), Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan Batam (Ditpam BP Batam), dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) hingga memicu aksi demo besar-besaran. Awal mula konflik di pulau tersebut terjadi sebab tidak adanya kepastian mengenai hukum atas hak tanah. Masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya yang telah menempati wilayah tersebut sekitar lebih dari 200 tahun menganggap tanah tersebut merupakan peninggalan yang memang sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Sementara itu pada tahun 2001 pemerintah pusat dan Ditpam BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada PT. Makmur Elok Graha atas nama Batam sehingga tanah tersebut tidak dianggap lagi sebagai milik masyarkat.

Menilik legalitas administrasi pertanahan di Pulau Batam dan Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 menjelaskan pengelolaan lahan Batam telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Batam untuk didistribusikan sepenuhnya kepada pihak ketiga yang berperan untuk terus mengelola lahan tersebut sehingga nantinya pihak tersebut wajib membayar hak guna lahan kepada pemerintah.

Konflik ini memuncak ketika pemerintah pusat dan perusahaan pemegang saham mulai merencanakan pembangunan proyek yang diberi nama Rempang Eco City hingga mengharuskan sekitar 7.500 masyarkat adat di relokasi. Sementara itu Rempang Eco City merupakan  kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia sehingga membantu pemerintah menarik investor asing maupun lokal dalam pengembangan ekonomi di pulau tersebut.

Dikutip dari laman BBC News Indonesia, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa semua ini masih bagian dari proses sosialisasi. Selanjutnya, secara terpisah tim pendataan Ditpam BP Batam mengatakan hal yang sama serta masih memfokuskan pada sosialisasi hak-hak masyarakat yang akan direlokasi. Oleh karena sosialisasi pemerintah mengenai proyek ini menjanjikan penawaran kepada masyarakat untuk diberikan fasilitas berupa  tempat tinggal baru yang berdekatan dengan laut sehingga, memudahkan nelayan sebagai mata pencarian utama masyarakatnya melaut agar mudah mencari nafkah. Tidak hanya itu, pemerintah juga menawarkan peluang tenaga kerja atas pembangunan proyek untuk masyarakat.

Hal ini menyebabkan adanya dua kubu antara masyarakat adat yang tetap dengan pendiriannya menentang pembanguan proyek dan masyarakat mayoritas pendatang yang setuju dengan proyek tersebut. Untuk itu, pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam mengambil alih keputusan secara hati-hati dan adil sebagai jalan tengah antara semua pihak yang terlibat. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia semua warganya, termasuk masyarakat adat serta dampak jangka panjang dari tindakan tersebut pada masyarakat lebih luas.

(Perspektif/Cahya)

Foto: Detik.com

Editor: Astri Rahma Deyta