Jatuh cinta dan mencintai adalah hak setiap orang dan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Namun, apa yang terjadi jika rasa cinta itu bukanlah suatu perasaan yang nyata tapi sesuatu yang dibalut dengan delusi? Kondisi ini merupakan salah satu gangguan psikologis yang disebut “Erotomania syndrome”. Nah, apa sih gangguan erotomania itu? Yuk kita kenali bersama.
Apa sih Erotomania itu?
Erotomania merupakan sebuah gangguan psikologi yang tidak lazim di mana individu mengalami delusi bahwa seseorang tertarik dalam konteks romantisme pada diri mereka (De Clerambault 1921). Objek delusi seringkali adalah individu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi karena delusi tersebut timbul dari ketidakmungkinan sebuah hubungan yang diidamkan-idamkan oleh penderita. Manusia memang memiliki motivasi dasar ingin dicintai dan hal itu merupakan pendorong yang kuat bagi manusia. Nah, daya tarik romantis ini sering kali dipengaruhi oleh beragam faktor sosial seperti penampilan fisik yang menarik, otoritas yang diakui, kemapanan ekonomi, dan ketenaran.
Penderita delusi erotomania biasanya merasa jatuh cinta dan tergila-gila kepada seseorang, serta punya keyakinan kuat bahwa ia juga dicintai balik oleh orang tersebut. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Alhasil orang-orang yang mengidap gangguan ini kerap berperilaku di luar kewajaran hingga dianggap sebagai penguntit atau penggemar yang terlalu fanatik. Erotomania bisa menimbulkan penderitaan yang parah bagi pasien dan ancaman bagi seorang yang menjadi objek delusinya. Dampak psikologis dari khayalan ini begitu besar sehingga ketika khayalan tersebut berkurang atau terganggu, penderitanya dapat depresi bahkan bunuh diri.
Siapa saja yang bisa terkena gangguan ini?
Gangguan erotomania bisa terjadi pada wanita maupun pria, dan biasanya dimulai setelah masa pubertas. Ketika idealisasi tentang cinta dan objek cinta pertama kali mulai terbentuk. Alexander Morrison (1848) mencatat bahwa penderita erotomania lebih umum terjadi pada wanita daripada pria. Penderita erotomania biasanya merupakan individu yang merasa ditolak secara sosial.
Orang yang terisolasi rawan terkena delusi karena memiliki sedikit pengalaman dalam bersosialisasi, dan mereka yang terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri. Ketika menghadapi penolakan, mereka cenderung melindungi diri dengan berfantasi bahwa seseorang yang mereka anggap lebih superior tengah memuja mereka. Sebenarnya ide delusional adalah hal yang umum terjadi di dalam populasi, dimana sekitar 1-3% dari individu non klinis dilaporkan memiliki delusi dalam tingkat keparahan yang setara dengan kasus gangguan psikologis yang didiagnosis secara klinis. Antara 15 hingga 20% individu menunjukkan adanya ide delusional namun tidak terlalu parah dan cenderung masih teratur.
Kapan gangguan ini muncul?
Waktu munculnya fantasi ini paling sering adalah ketika seseorang sedang berada dalam tekanan emosional ataupun stres. Peristiwa sehari-hari yang mungkin dimata kita merupakan sesuatu yang biasa saja namun bagi penderita erotomania peristiwa seperti itu seolah menjadi tanda penegasan cinta dari objek delusi mereka.
Rangsangan yang dianggap netral oleh orang lain seolah-olah memiliki makna khusus. Asumsi bahwa setiap kejadian mengacu pada diri sendiri hal ini disebut sebagai bias egosentris. Orang yang mengalami delusi menganggap dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka. Kondisi delusi ini semakin didukung dengan keadaan mereka yang terisolasi. Sebenarnya delusi yang muncul pada masa stres bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena pada saat itulah manusia termotivasi untuk mencari keterikatan pada sosok yang lebih kuat.
Penulis: (Umi Fadhillah Zahwa Salsabila/Mahasiswi Psikologi USK)
Editor: zaidanshadiqr