Darussalam – Alat musik tradisional sebagai warisan budaya yang kaya telah mengalami perjalanan panjang seiring dengan perubahan zaman. Sejak pertama kali diperkenalkan, alat musik tradisional telah berfungsi bukan hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai sarana komunikasi dan ekspresi dalam masyarakat. Perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sosial budaya, teknologi, hingga globalisasi. Setiap alat musik memiliki ciri khas dan sejarah yang unik, mencerminkan keindahan dan keragaman budaya. Salah satunya alat musik tradisional Aceh merupakan kekayaan budaya yang patut kita lestarikan.
Pembuatan alat musik tradisional ini masih mengandalkan metode tradisional yang membutuhkan keahlian khusus. Setiap detail, mulai dari pemilihan bahan hingga proses finishing, harus dilakukan dengan cermat agar menghasilkan alat musik dengan kualitas suara yang memukau. Salah satu contoh pengrajin yang mahir dalam teknik ini adalah Junaidi dari Aceh, yang merupakan seorang maestro pengrajin rapai jambu tuha. Karyanya tidak hanya mewakili keahlian tinggi dalam pembuatan alat musik, tetapi juga memperlihatkan dedikasinya dalam menjaga warisan budaya Aceh.
Alat musik tradisional karya tangan Junaidi telah terjual tidak hanya di Indonesia, karya tangannya dalam menghasilkan alat musik tradisional telah menembus pasar internasional. Kualitas yang dihasilkan dari tangannya berhasil menarik perhatian para kolektor dan pecinta musik tradisional dari berbagai negara, termasuk Malaysia, Singapura, Jepang, dan Australia. Pesanan terjauh bahkan datang dari Sydney, Australia. Koleksi alat musiknya beragam, mulai dari rapai, serune kalee, geundrang, ale tunjang, hingga tambo.
Sebelum menekuni dunia perajin rapai pada tahun 2012, Junaidi telah memiliki pengalaman bekerja di bidang konstruksi dan filateli. Keputusan untuk menjadi pengrajin rapai ini bukan tanpa alasan. Ia mengungkapkan bahwa ketertarikannya pada rapai sudah tertanam sejak kecil karena pengaruh keluarga yang memiliki keahlian dalam membuat alat musik tradisional Aceh tersebut. Selain itu, pengalamannya sebagai seorang pemain rapai juga menjadi motivasi kuat baginya untuk melestarikan warisan budaya ini dengan cara membuat rapai sendiri.
Awalnya Junaidi lebih memprioritaskan warga lokal sebagai konsumennya. Dirinya ingin warga Aceh untuk tetap melestarikan kekayaan budaya aceh agar tidak menghilang suatu saat nanti. Apalagi sangat banyak jenis alat musik daerah Aceh ini. Seperti yang paling dikenal yaitu rapai, di setiap daerahnya rapai memiliki jenis dan kegunaannya masing-masing. Misalnya di Lhokseumawe yang memiliki rapai uroh dan di Aceh Selatan memiliki daboh, kedua rapai ini memiliki bentuk dan cara pakai yang berbeda juga.
Sebagai pengrajin alat musik tradisional memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh Junaidi. Tantangan utama baginya adalah ketersediaan bahan baku. Bahan baku utama dalam pembuatan rapai adalah kayu merbau dan kayu tualang, namun saat ini jenis kayu tersebut sudah langka. Hal ini membuat proses produksi semakin sulit dan memakan waktu lebih lama. Selain itu tantangan dalam penjualan alat musik ini ada di para konsumen. Konsumen saat ini sangat menginginkan barang yang murah namun kualitas yang terbaik. Menurut Junaidi, hal ini sulit dipenuhi karena membuat alat musik berkualitas membutuhkan bahan terbaik dan pengerjaan yang teliti. Keinginan konsumen untuk mendapatkan barang dengan cepat juga menjadi tantangan, yang menurutnya pengerjaan satu rapai hanya bisa dikerjakan paling cepat dua hari.
Junaidi memberikan pendapat bahwa generasi muda aceh sekarang masih memiliki keingintahuan terhadap Alat musik. Namun menurutnya ada beberapa hambatan dalam keinginan pemuda tersebut. Hambatan utamanya adalah biaya dan jarak tempat tinggal mereka. Banyak anak muda yang ingin belajar membuat dan memainkan rapai, tetapi mereka tidak memiliki akses atau sumber daya yang cukup untuk mewujudkannya.
Junaidi sangat berharap pemerintah dapat berperan lebih aktif dalam pelestarian budaya ini. Beliau menyarankan agar pemerintah menyediakan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan pelatihan pengrajin, mengadakan festival alat musik tradisional secara berkala, serta memasukkan materi tentang alat musik tradisional ke dalam kurikulum sekolah. Dengan demikian, diharapkan generasi muda dapat lebih mengenal dan mencintai warisan budaya bangsa.
Bagi Pak Junaidi, melestarikan seni pembuatan rapai adalah sebuah panggilan. Melihat minimnya pengrajin dengan keahlian yang mumpuni, beliau membuka kesempatan bagi anak muda untuk belajar secara gratis. Dengan demikian, diharapkan akan muncul generasi penerus yang mampu menjaga kelestarian alat musik tradisional Aceh.
(Perspektif/Akief,Nafla)
Editor : Cut Meisya Salsabila