Darussalam – Terhitung Desember 2022, Surat Keputusan (SK) kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (FEB USK) resmi berakhir. Menanggapi hal ini, untuk mengisi kekosongan kekuasaan pihak rektorat menetapkan Pejabat pengurus atau disebut juga Penanggung Jawab (PJ) BEM FEB USK sampai dilantiknya BEM definitif melalui Surat Keputusan Nomor 24/UN11.1.1/KPT/2023.
Menindaklanjuti hal tersebut, pada 14 Maret 2023 Universitas Syiah Kuala mengeluarkan Surat Keputusan baru mengenai Organisasi Mahasiswa Tingkat Fakultas dan Jurusan. Mengacu pada Surat Keputusan tersebut Nomor 1379/UN11/KM.05.03 tertera pernyataan bahwa :
- Pelantikan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) tingkat fakultas dan jurusan dalam lingkungan universitas syiah kuala paling lambat dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 2023;
- Apabila poin 1 belum bisa terlaksana, maka Dekan Fakultas melalui Wakil Dekan Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan serta Ketua Jurusan menunjuk langsung Ketua dan pengurus untuk setiap Ormawa Fakultas atau Jurusan;
Poin pernyataan ini secara jelas memberikan arahan bahwa Ketua dan Pengurus Ormawa yang belum terpilih di masing-masing fakultas akan secara resmi ditunjuk oleh Wakil Dekan Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan menjadi ketua definitif.
“Untuk pembentukan kepengurusan, mekanismenya akan didiskusikan kembali,” ujar Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan saat ditanya mengenai bagaimana mekanisme penunjukan kepengurusan BEM yang baru.
Selaras dengan hal tersebut, banyak yang menajamkan perhatian kala surat keputusan dikeluarkan. Pasalnya, atmosfer politik kampus kuning tak kunjung mendapati kata sepakat yang berujung memengaruhi instrumen pelaksanaan yang ideal. Menyoroti polemik yang terjadi, seperti tak ada habis-habisnya perdebatan antara aklamasi dan demokrasi.
Seyogyanya BEM merupakan representasi dari mahasiswa, maka sudah selayaknya jika pertimbangan keputusan juga datang dari mahasiswa itu sendiri. Beberapa intervensi dengan maksud menengahi justru menjadi balada tersendiri karena jauhnya campur tangan para pemangku kebijakan.
Sedari awal, Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) FEB sudah melalui diskusi panjang lagi mendalam hingga akhirnya menghasilkan kesepakatan mengenai siapa bakal calon yang dipercaya akan menjadi nahkoda kampus selanjutnya. Namun, hal ini terdengar kontra dengan keinginan Wakil Dekan III. Aklamasi dinilai borok karena hanya mementingkan satu golongan saja. Penilaian ini jelas mengabaikan kemufakatan KBM yang telah dilakukan, hingga akhirnya terbit Surat Keputusan yang menyatakan bahwa ketua definitif akan ditunjuk langsung oleh Wakil Dekan III. Apakah penunjukkan ini selaras dengan definisi demokrasi yang digaung-gaungkan? Lantas apa bedanya dengan aklamasi yang disepakati keluarga besar mahasiswa? Bukankah hal semacam ini tidak selayaknya dilakukan jika sejak awal prinsip demokrasi yang diharap?
Menilik perang pemikiran yang sedang memanas ini, bukankah sebaiknya pihak-pihak terlibat melakukan pemufakatan lebih jauh untuk sekena dan sepakat yang sama? Hal ini kiranya perlu menjadi pertimbangan agar tercipta perimbangan politik yang lebih baik, terbebas dari represi maupun intervensi dari golongan elit. Juga mengingat kembali kutipan Wakil Dekan III yang mengatakan bahwa mekanisme penunjukkan akan didiskusikan kembali. Harapan terciptanya diskusi tersebut tidak lain hanya untuk menghindari adanya bias informasi maupun spekulasi.
Terlepas dari hal itu, siapapun yang nantinya terpilih menahkodai maka ia wajib sepenuhnya mengabdi dan menjalankan tupoksi. Keputusan yang bijak sepatutnya menjadi asa bagi seluruh elemen kampus semata dengan harapan membawa perubahan yang lebih tertata.
(Perspektif/ Semanggi Empat & Bambu )