Judul: Siksa Kubur (Grave Torture)
Direktor: Joko Anwar
Penulis: Joko Anwar
Genre: Horror, Thriller, Psychological Horror
Waktu Tayang: 11 April 2024
Studio Produksi: Rapi Films, Legacy Pictures, Come and See Pictures, IFI Sinema, Komet Productions
Sinopsis:
Sebuah film yang dikembangkan dari short film keluaran 2012 dengan judul yang sama, Siksa Kubur berhasil menjadi film horor berkualitas. Mulai dari pemeran, cinematography, visual effect, hingga sound building berhasil dibawakan dengan sangat apik. Oleh karena itu, film ini berhasil meraih 17 nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2024. Kemunculan salah satu karya Joko Anwar ini menciptakan standar baru bagi dunia perfilman Indonesia.
Judul yang digunakan memberikan kesan mencekam bagi penonton. Siksa Kubur berhasil mengungkung emosi penonton untuk tetap berada dalam rasa takut, tidak dapat mengelak maupun menerima. Selama film berlangsung, penonton dibuat skeptis terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tentang Film:
Kisah ini diawali dengan kehidupan sebuah keluarga sederhana yang berjualan roti. Sang kakak, Adil (Muzakki Ramdhan), dan adiknya, Sita (Widuri Puteri Sasono), menjadi saksi mata ketika kedua orang tua mereka tewas secara tragis akibat serangan bom bunuh diri. Sebelum kejadian, pelaku sempat berinteraksi dengan Adil dan menyerahkan sebuah kaset rekaman. Kaset tersebut berisi suara teriakan yang mencekam dan pertanyaan malaikat, ‘Man Rabukka?’ yang menjadi kunci utama dalam alur cerita ini.
Selanjutnya, scene menampilkan kehidupan Adil dan Sita di sebuah pesantren. Sita, yang tumbuh menjadi pribadi skeptis terhadap doktrin agama, terkhusus pada permasalahan adanya siksa kubur, terus memberontak. Ia berusaha kabur untuk membuktikan bahwa keyakinan tersebut hanyalah khayalan. Bersama Adil, yang juga menyimpan trauma mendalam akibat menjadi korban pelecehan, mereka mencoba melarikan diri dari pesantren tersebut. Jalur pelarian yang dilalui pun terasa mencekam sehingga membuat penonton ikut bergidik ngeri, menantikan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.
Penggunaan negative space dalam setiap adegan memperkuat nuansa gore yang menyeruak, membuat penonton terus berpaku pada apa yang sedang dan akan terjadi terhadap tokoh utama.
Setelah melewati terowongan, cerita beralih ke masa dewasa Sita dan Adil. Sita, kini menjadi perawat di panti jompo, menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Sementara Adil, yang sudah menikah, bekerja sebagai pemandi jenazah di tempat yang sama. Keduanya bekerja disana dengan tujuan untuk membuktikan bahwa keyakinan mereka terhadap adanya siksa kubur hanyalah mitos.
Plot twist yang berlapis membuat alur cerita sulit ditebak, sehingga penonton terus terjaga oleh kejutan demi kejutan. Penampakan-penampakan misterius yang terus mengubah persepsi Sita mengenai keberadaan siksa kubur juga ikut mengintervensi nyali penonton. Teror makhluk ghaib yang terus bermunculan tanpa henti sukses untuk membuat penonton enggan menatap layar. Film ini diakhiri dengan fenomena menegangkan yang membuktikan ketakutan terbesar Sita bahwa siksa kubur memang nyata.
Meskipun film ini mendapatkan banyak pujian dan masuk dalam beberapa nominasi penghargaan, terdapat kekurangan yang menghalangi film ini untuk menjadi film sempurna. Penulis menilai bahwa alur, cinematography, dan kesan yang dibangun di pertengahan hingga akhir cerita tidak sekuat di awal film. Teknik pengambilan video berupa long shots membawa penonton langsung masuk ke dunia Sita dan Adil. Kamera berputar mengelilingi ruang memberikan nuansa deskriptif kepada penonton bahwa keluarga Sita merupakan keluarga perintis yang sederhana. Terlebih teknik close-up tatapan kosong Adil saat berhadapan dengan pengebom (Afrian Arisandy) juga menangkap pesan mendalam bahwa manusia kerap bertindak spontan ketika menghadapi kepastian yang tak terhindarkan. Namun, penggunaan teknik serupa di pertengahan film kurang berhasil karena pencahayaan yang minim, sehingga pesan yang ingin disampaikan melalui mata Sita tidak tersampaikan dengan maksimal.
Kemudian, penyampaian nilai-nilai religius dalam film ini masih belum maksimal. Scene yang menampilkan jasad Wahyu (Slamet Rahardjo) terlentang, yang menunjukkan kurangnya kesiapan materi dalam penggarapan film ini. Padahal, Joko Anwar sebelumnya menyatakan bahwa ia telah melakukan riset mendalam untuk mempersiapkan film ini. “Karena sebagai seorang filmmaker, cerita seperti Siksa Kubur itu bikinnya harus bener. Kalau gak bener jatuhnya kayak main-main, kayak film fantasi, (sedangkan) agama kan bukan fantasi. Riset dari kajian-kajian agama, audio visual, rekaman-rekaman, dari buku semuanya itu kita ambil”, ujarnya dalam sebuah video.
Secara keseluruhan, Siksa Kubur sukses menghadirkan standar baru untuk genre horor di Indonesia. Film ini membuktikan bahwa horor tidak hanya sekadar menampilkan elemen kejutan (jump scare) dan adegan berdarah-darah, tetapi juga perlu memiliki nilai filosofis tersendiri yang mampu membuat penonton terpaku bisu sejak awal hingga akhir film.
(Perspektif/ Asafarsa)
Editor: Nabila Anris