Berita

Gama Renjana: Dalam Asa untuk Kekeluargaan

×

Gama Renjana: Dalam Asa untuk Kekeluargaan

Sebarkan artikel ini
Foto: Habibul Rusydi

/Ga.ma/ : Perjalanan

/Ren.jana/ : Perpaduan Rindu dan Cinta Kasih

Terlahir untuk tujuan hebat – dalam bentuk yang sempurna untuk sesuatu yang lebih paripurna – Gama Renjana.

Darussalam – Sirene kapal bersiul gagah, insan-insan muda di dalamnya bersiap untuk meleburkan diri dalam secuplik jurnal lintang sagara; Sabang. Pagi itu suasana begitu cerah, kami bergegas memasuki kapal BRR. Kapal yang merupakan kerjasama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (BRR NAD-NIAS) ini mulai beroperasi dari tahun 2009 hingga sekarang. Meski sudah berusia 14 tahun, namun tidak melunturkan kegagahan moda transportasi laut satu ini. Sesampainya di dalam kapal, kami langsung memilih posisi strategis untuk duduk. Perjalanan yang memakan waktu dua jam itu disuguhi dengan pemandang lautan biru yang menenangkan, jangan lupakan terik matahari yang menambah kesan eksotis laut Sabang ini.

Daerah terbarat Indonesia ini memang surga. Meski kecil namun seperti tiada habis kesan untuk pulau satu ini, tentang laut, pantai, senja dan orang-orang di dalamnya. Ternyata benar seperti kata orang-orang; laut menyaji dan menyaja begitu banyak kesan kuat; pada hiruk-pikuk kapal; pada ombak; pada apa yang orang-orang tafsirkan sebagai memori. Gama Renjana hadir dalam asa untuk merawat rasa kekeluargaan LPM Perspektif. Berbekal keinginan kuat, jurnal Gama Renjana berlayar dinahkodai Alief Nugraha selaku Ketua Panitia.

Menapaki langkah di Pelabuhan Balohan, kami segera memasuki mobil dan bersiap menuju destinasi Kilometer nol Indonesia.  Bukan tanpa sebab; rasanya belum sah ke Sabang jika tidak mampir di tugu ikonik satu ini.

Sepanjang perjalanan kami disibukkan dengan ribuan celoteh mengakrabkan perasaan satu sama lain, tak ada kecanggungan.

“Kiri depan tikungan dan turunan tajam, hati-hati,”

Instruksi dari Handy talkie (HT) bersautan mengayomi satu sama lain untuk tetap aman dalam jalurnya. Sederhana namun sempurna bagi yang menjalani. Kita adalah banyak jiwa untuk satu. Pengayomannya begitu kentara. Iringan mobil yang teratur semakin menambah haru perjalanan ini. Semua patuh, tunduk dan seksama mendengar instruksi Musliadi selaku Koordinator Lapangan Gama Renjana.

Menempuh belasan kilometer tibalah kami di tugu dengan corak biru langit dan simbol angka nol nya sebagai penanda wilayah terbarat Indonesia. Sesampainya, segera kami bersiap memenuhi tanggung jawab masing-masing mengabadikan momen dengan jepretan kamera. Hamparan lautan di depannya menjadi pemanis yang menenangkan. Tuhan begitu baik, menciptakan surga-surga kecil untuk hamba-Nya.

Memanjakan mata dengan pesona eksotis tugu yang dikelilingi pohon-pohon tinggi membuat kami enggan untuk beranjak, namun sudah saatnya kami berpetualangan ke belahan Sabang lainnya. Kali ini Pulau Rubiah menjadi tujuan selanjutnya. Menikmati laut Sabang tak akan lengkap tanpa kegiatan snorkeling dan diving untuk menikmati pesona alam bawah lautnya.

Jam menujukkan pukul 4, kami bergegas menyebrang ke pulau Rubiah setelah sebelumnya menempatkan barang bawaan di penginapan Iboih yang tak jauh lokasinya dari dermaga penyeberangan ke Pulau Rubiah. Sejumlah perahu motor berlalu lalang dari dermaga tepi Pantai Iboih menuju Pulau Rubiah. Meski hari sudah sore, namun ini tak menyurutkan langkah kami untuk tetap mengabadikan panorama di Pulau Rubiah. Perahu motor melaju kencang menyisakan teriakan-teriakan histeris karena kecepatan kemudi yang memacu adrenalin. Hanya memerlukan waktu lima menit kami akhirnya tiba di Pulau Rubiah. Pulau ini sejatinya tidak berpenghuni, sebab akses air sulit untuk ditemui. Meski begitu, tiap harinya para pedagang selalu memadati pulau tersebut dan menyediakan jasa snorkeling untuk para wisatawan termasuk juga menjajakan berbagai makanan.

Puas menghabiskan waktu bersnorkeling dan memanjakan mata dengan keindahan bahari Pulau Rubiah, kami bersiap untuk kembali ke penginapan. Perahu motor sudah menunggu di dermaga, bersiap untuk mengantarkan Tim LPM Perspektif melanjutkan petualangannya.

Sesampainya di penginapan kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk agenda selanjutnya. Malam keakraban atau disingkat dengan makrab selalu menjadi agenda penting di setiap perjalanan seperti ini. Tak ayal kami pun memilih ini sebagai cara terbaik untuk saling mengenal dan membiasakan diri satu sama lain. Makrab diisi dengan berbagai permainan menarik, mulai dari sambung kata, tebak gambar, hingga ke sesi deep talk bersama. Seperti tujuan awal, Gama Renjana hadir untuk mengakrabkan perasaan satu sama lain. Kilas balik malam makrab, pertanyaan-pertanyaan mulai dilontarkan satu sama lain, tanpa canggung semua mulai membuka diri; memahami rumitnya satu sama lain.

“Satu-satunya hal yang gak bikin muak di kampus itu cuma Perspektif,” ujar Dania menyuarakan kebanggaannya membersamai Perspektif selama delapan bulan ini. Pengungkapan ini diiringi tepuk tangan meriah nan haru. Terdengar klise namun apa dikata, sesuatu sempurna bagi yang menjalani.

“Apa hal yang bikin kamu bertahan di Perspektif?” sejenak kami terhenyak mendengar pertanyaan ini. Semua larut dalam pemikiran masing-masing. Apa yang sebenar-benarnya menjadikan kita saling bertahan dan menguatkan.

“Karena orang-orang di dalamnya,” sahut Tasya memecah keheningan. Jawaban yang begitu tepat di tengah momentum mengharukan. Beberapa terlihat emosional dengan jawaban ini. Ternyata benar, hal-hal sederhana selalu saja memukau. Pertanyaan-pertanyaan yang kiranya terdengar klise namun begitu bermakna ketika didalami.

Sesudah momen emosional ini rasa kantuk belum jua mengusik. Kami memutuskan menghabiskan malam dengan berwisata kuliner di sekitar dermaga Iboih. Sate gurita tampak menjadi primadona, hampir saja kami kehabisan. Ditemani deburan ombak di tengah heningnya malam, beberapa dari kami semakin hanyut dalam pembicaraan emosional tadi. Beberapa bercerita ulasan pengalaman hari ini. Beberapa lainnya memilih kembali ke penginapan dan terlelap.

Jam menunjukkan pukul 7, kami bersiap untuk check out dari penginapan dan melanjutkan agenda-agenda lainnya yang sudah tersusun rapi. Perjalanan selanjutnya adalah ke Benteng Jepang Anoi Itam. Situs peninggalan sejarah ini menarik perhatian kami untuk menjelajah lebih jauh. Bukan tanpa sebab, sejarah di baliknya membuat kami tertarik mendokumentasikan apapun tentang benteng ini. Meriam yang sudah tua namun masih berdiri dengan kokoh, gua-gua yang terlihat begitu mistis namun mempunyai nilai artistik tersendiri. Tak lupa kami juga bersantai di samping tebing yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Hamparan laut biru begitu menyejukkan mata. Sambil bersenda gurau, sahutan tawa terdengar begitu renyah. Apa yang lebih indah dibanding memaknai hari dengan orang-orang ini?

Matahari kian terik, kami memutuskan beranjak ke destinasi selanjutnya. Siapa yang tak tau Freddies, cafe sekaligus penginapan di Sumur Tiga ini menawarkan pemandangan yang tak kalah memukau. Pasirnya yang putih berpadu kontras dengan birunya laut. Wisatawan asing juga terlihat menikmati keindahan bahari ini dengan melakukan diving.

Memasuki waktu zuhur kami segera menunaikan ibadah sholat dan bersiap menuju pelabuhan setelah sebelumnya berbelanja oleh-oleh terlebih dahulu. Tak butuh waktu lama, kami tiba di pelabuhan Balohan dan segera membeli tiket pulang ke Banda Aceh.

Tiba di pelabuhan Ulee Lheu, kami menutup perjalanan Gama Renjana dengan saling berterima kasih satu sama lain dan melakukan ritual menyorakkan slogan.

Gama Renjana –  Sukses

Perspektif – Huha

Gama Renjana perjalanannya memang singkat, namun berkesan kuat. Kami kembali ke Banda Aceh membawa segudang cerita baru. Cerita terpentingnya adalah saling menemukan; satu sama lain. Kita dicita-citakan begitu indah untuk saling mengayomi satu sama lain dalam asa untuk sebuah kekeluargaan. Sampai jumpa di episode-episode gama lainnya.

(Perspektif/Putri Amalia Husna)

Editor : Dinda