BeritaFeaturesNasional

Mengenal Performative Activism, Sebuah Solusi atau Kontroversi Baru

×

Mengenal Performative Activism, Sebuah Solusi atau Kontroversi Baru

Sebarkan artikel ini

Darussalam— Aktivisme selalu dikaitkan dengan upaya dan wujud ekspresi membara yang dilakukan para pelaku perubahan yang dikenal sebagai aktivis. Perubahan yang diperjuangkan ini biasanya merujuk pada berbagai hal, seperti dalam urusan politik, sosial dan budaya, hingga tatanan masyarakat yang dianggap perlu untuk mendapat sentuhan transformasi ke arah yang diinginkan.

Aktivisme sudah seharusnya lekat dengan perjuangan yang nyata dan menuntut reformasi keadilan menuju hal yang lebih baik. Namun, bukan berarti eksistensinya disebut-sebut sebagai pembelaan untuk berbantah-bantahan di antara para oknum yang haus pengukuhan akan supremasi superioritas yang bermuara pada kehancuran kredibilitas berbangsa dan bernegara. Apa yang akan terjadi jika aktivisme tidak berperan sebagai tokoh protagonis melainkan sebuah acuan pembenaran untuk memulai atraksi remeh-temeh untuk mencapai popularitas yang ‘beken’ di mana-mana?

Namanya adalah Performative Activism. Orientasinya merujuk pada performa yang berbasis pada perjuangan simbolis. Biasanya gerakan aktivisme semacam ini terlihat aktif dalam dunia maya seperti mengganti foto profil yang menyuarakan dukungan terhadap isu tertentu, tagar dukungan untuk kelompok tertentu, dan postingan yang juga bertujuan untuk mendukung suatu permasalahan.

Penggerak performative activism ini sendiri tidak dapat kita labeli secara langsung. Namun hari ini, di tengah maraknya penggunaan gadget dan intensitas interaksi melalui dunia maya yang juga membuka aksesibilitas untuk menyebarluaskan dan menerima berbagai macam informasi dari influencer dan public figure yang dikenal memiliki platform dengan persentase pengikut yang besar juga di asumsikan memiliki peran besar dalam menyemarakkan praktik performative activism ini.

Dalam perkembangannya, performative activism ini tak selalu mulus dan diterima baik oleh berbagai kalangan. Keberadaannya juga sempat menuai kontroversi yang beragam dari penikmat media sosial lainnya. Black Lives Matter yang merupakan tajuk dukungan dalam protes online yang dikenal sebagai Blackout Tuesday  dibarengi dengan postingan bergambar kotak hitam. Tujuannya jelas, untuk mendukung dan menunjukkan bahwa mereka menghargai kematian George Floyd yang dibunuh dengan tragis dalam penangkapan seorang polisi setelah dirinya diduga mengeluarkan uang kertas palsu sebesar $20 di Minneapolis pada 2020 lalu. Lalu United Nations Children’s Fund (UNICEF) Swedia meluncurkan kampanye dengan judul “Likes Don’t Saves Lives” pada 2013. Kampanye ini bukan upaya menghentikan dukungan secara virtual, namun sebuah ajakan kesadaran bahwasanya likes semata tidak akan menjadi solusi nyata bagi masalah kemiskinan, kelaparan, dan banyak hal lainnya.

Gerakan aktivisme yang menekankan pada tampilan virtual bukanlah dosa besar. Wajar dan lumrah apabila media sosial digunakan sebagai wadah untuk menggemakan dukungan yang masif. Performative activism ini pun cukup subjektif untuk sekadar kita kotak-kotakkan dalam memilah definisi dan jenis dari suatu pergerakan untuk memperjuangkan suatu isu, namun perjuangan butuh aksi nyata. Kita berjuang bukan semata-mata untuk menjadi ajang pertunjukan terhadap kepedulian kepada sesama, tapi sebagai bentuk ketulusan yang murni dalam mendukung dan mencari solusi untuk isu tertentu demi masa depan yang lebih baik.

Perspektif / Novi Rahmawati

Editor: Astri Rahma Deyta