Darussalam (16/2) – Kabar tak sedap kembali menerpa dunia pendidikan Indonesia. Moralitas akademik yang harusnya dijunjung tinggi kembali tercoreng dengan pemberitaan maraknya perjokian yang melibatkan dosen hingga mahasiswa. Bak pasar murah, demi wara-wiri tampil eksklusif, tak jarang para akademisi justru mengobral nilai hingga banting harga demi gelar dan akreditasi. Sangat disayangkan, cendekiawan harus lahir dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Seolah menjadi Intelektual hanya perihal rentetan gelar dan penghormatan di belakangnya.
Tanpa tahu malu para akademisi justru rakus, melegalkan semua cara demi melenggangkan lapak praktiknya. Standar akademik kian merosot, persoalan akreditasi selalu menjadi sajian pembuka. Nilai diobral adalah hal lumrah demi mencapai pengakuan kampus dengan standar terbaik. Lalu di mana moralitas sebagai pendidik dan yang terdidik? Hilang terbawa angin atau justru tenggelam terbawa arus? Haruskan kita melumrahkan hal ini?
Dikutip dari Kompas.com, sejumlah calon guru besar diduga terlibat perjokian penulisan artikel ilmiah yang melibatkan pejabat struktural kampus seperti dosen hingga mahasiswa. Salah satu modus perjokian karya ilmiah di sejumlah kampus swasta maupun negeri ialah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Siapa yang menyangka, jika ranah yang berintegritas tinggi justru menelanjangi dirinya dengan hal ini.
Tak jarang pula kita temui menjelang penilaian akreditasi kampus, prodi mulai wara-wiri menunjukkan tampilan terbaiknya. Berbagai program digalakkan tak peduli mekanismenya amburadul atau tidak. Praktik kuliah tak lagi sesuai prosedur. Tergopoh-gopoh untuk sebuah pengakuan hingga lupa membenahi kelakuan. Isi tak lagi penting, tampilan yang utama. Bukti bahwa ranah ini masih rendah etika dan disiplin akademis.
Tak ayal, seperti ranah yang kehilangan esensi kita seolah abai dengan kemerosotan ini. Sibuk mengejar kuantitas hingga lupa akan kualitas. Seolah banyak, lebih penting daripada mutu. Lambat laun kita kian pragmatis dan mengesampingkan etika seorang intelektual. Apakah ini bentuk kegagalan pendidikan karakter di Indonesia?
Mirisnya lagi, beberapa institusi pendidikan justru dijalankan dengan model bisnis. Tiga bulan untuk empat tahun. Belum lagi dengan praktik kuliah yang amburadul. Copy paste adalah hal lumrah. Orisinalitas hanyalah omong kosong. Menjiplak seolah bukan lagi hal memalukan. Keengganan untuk berpikir menjadikan kita terlena dengan lompatan teknologi. Mencerdaskan kehidupan bangsa seolah hanya kata tanpa makna. Seliweran joki adalah rahasia umum yang masih terjadi secara masif, sistematis dan terus dibiarkan tumbuh subur. Lalu pada akhirnya, rentetan gelar itu untuk apa? Untuk siapa?
(Perspektif/Semanggi Empat)