Berita

Buta dalam Terang, Maha Diam Demi Citra

×

Buta dalam Terang, Maha Diam Demi Citra

Sebarkan artikel ini

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” – Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Birahi keangkuhan kaum intelektual dalam menyandang almamater universitas sekarang ini dapat diartikan sebagai sirene bencana yang berdengung pertanda keruntuhan dan kemunduran di depan mata. Jalan-jalan pikiran satu persatu dibentengi dengan tembok identitas yang semakin kokoh dan bebal. Maka, kelahiran neo-nepotisme dalam lingkungan universitas adalah berita pasti tak terbantah.

Fenomena ini melanda setiap kawasan yang dihinggapi manusia, termasuk perguruan tinggi yang di dalamnya berkumpul akal dan pikiran demi kemaslahatan. Universitas menjadi derogatory kental dengan segala kemunafikannya. Bagaimana tidak? Bukti-bukti konkrit terus mencuat atas kegagalan dan kejanggalan yang terjadi selama ini. Lantas pembenahan dikrusialkan dengan tabir ‘mereka golongan kita’, ‘jaga nama baik’, dan diksi-diksi rancu nan aneh lainnya.

Hal yang lebih disayangkan adalah fenomena ini menyelimuti organ vital strata sosial, yaitu kekuasaan. Domino’s Poison Effect terasa hangat dan akrab menjalar turun menyentil sendi sosial yang ada. Lagi-lagi pikiran menjadi tumbal hasrat kerakusan untuk berkuasa. Maka, tak salah ketika seorang sosiolog jerman Maximilian Weber dalam karyanya The Types of Legitimate Domination menyimpulkan bahwa, “Dalam budaya nepotisme, kekuasaan menjadi kunci terbesar atas pengawetannya”.

Kecondongan dalam menimpuk realitas ini melintas kental dengan embel-embel identitas yang semakin menunjang egoitas personal maupun kelompok. Salahkah jika dalam satu titik pandang yang dominan, fenomena ini dilihat sebagai bentuk kemunduran kemanusiaan sedangkan manusia tumbuh pesat? ”Manusia bertambah setiap waktu, tapi kemanusiaan harus mati setiap detik”. Pemeliharaan atas kekacauan, kesalahan, dan kemunafikan hadir sebagai rumus bakti yang terus diaduk hingga larut dalam pelajaran karakteristik humanistis. Alhasil, kemanusiaan dan perjuangan hak-hak kebenaran harus terdegradasi di kaki kehidupan yang hipokrit dengan dalih nama baik kelompok.

Nepotisme College Tribalism adalah fakta nyata yang dapat dirasakan secara personal maupun citra kelompok. Universitas hadir dengan pembudidayaan nyata sebagai penyokong kuat ‘kelompok’ tersebut. Secara gamblang, sudahkah jabatan struktural universitas dilaksanakan dengan menjunjung prinsip etika rasionalitas? Sudahkah nilai martabat kekuasaan memiliki surplus anti kezaliman? Sudahkah menjadi komparisator atas benar dan salah? Atau justru larut dengan egoistis perlindungan saudara serumpun dan sejurusan?

Dalam buku Essai sur les libertes (Kebebasan dan Martabat Manusia), Raymod Aron menyiratkan fakta sosial yang bersifat empiris adalah kecenderungan individual secara subjektif terhadap individual lain. Akan tetapi, bagi masyarakat modern, dalam pelaksanaan hukum alam tersebut sarat dengan pergolakan irasional, sehingga keadilan dan kemajuan adalah fatamorgana yang tak pernah digapai.

Belum lagi kebungkaman petinggi kelembagaan dalam menyikapi persoalan rumah tangga dengan dalih citra dan cinta di dalamnya. Solidaritas menjadi kambing hitam pijakan irasional pelaksana jabatan. Diam adalah jalan mempertahankan keindahan dari luar, tapi bangkai adalah bau yang sangat mematikan.

Konflik loyalitas semakin besar dan tumbuh subur di kelembagaan organisasi mahasiswa (Ormawa). Ormawa sepi peminat, namun penjilat menjadikan kelembagaan ‘tewas’ tak berkutat. Lagi-lagi, bukan sistem yang patut disalahkan. Sistem hanya bagian remah-remah basi yang dituding untuk menutup kemunafikan. Persoalan terbesarnya adalah mentalitas komparisator individu yang berani untuk mengedepankan asas kebenaran ketimbang kekuasaan. Sudahkah universitas benar-benar memanusiakan manusia untuk menjadi manusia?

Keburukan yang terselubung ditampik, kekuasaan semakin dilindungi dengan slogan pemantik fanatisme yang ampuh meredam kedunguan kekuasaan lembaga. Belum lagi tirani dalam pendidikan yang memelihara elit lembaga secara politis dan emosional. Hutang budi atas kemenangan pesta demokrasi juga menjadi urgensi penjamuran nepotisme di lingkungan universitas.

Bayangkan dalam kurun satu dekade, ribuan bahkan jutaan mahasiswa diluluskan dari perguruan tinggi, menjelma dengan masyarakat luas dengan dogmatis bahwa ‘nepotisme adalah hasrat manusiawi’. Lantas di mana peran organisasi sebagai wadah pembentukan karakter? Di mana peran universitas sebagai pendidik? Kapan kemajuan peradaban akan tercipta jika kita terus larut dengan pengekangan elektif dan sektoral golongan? Pengharapan demi pengharapan terus tumbuh dengan datangnya manusia pemangku almamater yang baru. Namun di sisi lain, pengharapan itu sirna dengan pergolakan yang statis dan pesimistis terhadap perubahan yang dipertontonkan oleh karakter yang berada di tampuk kekuasaan.

Daftar Pustaka

Weber, Max. 1864–1920. ‘The Types of Legitimate Domination’. Erfurt, Jerman.

Ritzer, George. The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003), hlm. 133.

Calhound, Craig. Gerteis, Joseph. Moody, James. et al (Ed.). Classical Sociological Theory, (Great Britain: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 206.

Aron, Raymond. 1905-1983. Essai sur les libertes. 1955. Paris, Prancis.

Penulis kontributor : Akal Budi, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK

Editor : Dinda