Kini bangsa kita dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang begitu pelik, orang-orang sibuk berkaca ria dengan dirinya, bergumul dengan manusia-manusia individualis yang hanya mementingkan eksistensi semata demi dipandang sebagai manusia yang bergelar. Lalu, siapa gerangan yang mampu mengangkat beban bangsa ini? Ketika pertanyaan ini terlintas di pikiran kita maka dengan otomatislah pikiran kita sendiri yang menjawab bahwa para pemuda lah yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini.
Pemuda, orang-orang yang hidupnya penuh dengan gejolak; mereka dibakar dengan hasrat di dalam diri, maka kini di tengah berbagai permasalahan di bangsa ini, merekalah sebenarnya yang mampu memberi jawabatan atas apa yang dihadapi bangsa ini.
CITA-CITA
Saya mimpi tentang sebuah dunia
Dimana ulama, buruh, dan pemuda
Bangkit dan berkata, “stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi yang tak akan pernah datang
28 Oktober 1968
Tulisan di atas merupakan satu dari sekian banyak untain demi untain mimpi seorang mahasiswa demonstran bernama Soe Hok-Gie dalam catatan hariannya. Hidupnya tak pernah lepas dari buku, kegemarannya pada dunia literasi dan sastra menjadikan dirinya sebagai penulis yang begitu lihai.
Soe Hok Gie, ia merupakan seorang intelektual yang berprinsip tidak mengejar kekuasaan, tetapi mencanangkan kebenaran dan bersedia menghadapi ketidakpopuleran. Sebab baginya ada sesuatu yang lebih besar dari semua itu, yaitu kebenaran itu sendiri.
Gie adalah seorang cendekiawan muda yang memiliki intelektualitas merdeka, dirinya pun disebut-sebut sebagai potret semesta mahasiswa, Gie lahir pada 17 desember 1942, ketika dunia berada ditengah puncak perang dingin kedua dan indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan jepang.
Kemampuan dirinya untuk paham tentang sejarah, politik, dan ilmu sosial lainnya membuat ia tumbuh menjadi pemuda yang kritis. Kritik-kritik kerasnya terhadap pemerintah tak ayal juga mengasah kesadaran berdemokrasi agar setiap lapisan masyarakat indonesia memahami masalah di negaranya. Pada saat itu, kesadaran pemuda untuk berdemokrasi begitu minim, pun Indonesia juga baru saja bebas dari belenggu para penajajah, akan tetapi ia menilai kesadaran berdemokrasi merupakan bibit penting untuk menghadapi permasalahan bangsa ini ditambah pada saat itu hanya sedikit orang yang berani berteriak menentang segala kemunafikan,”Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
Berjalannya waktu setelah rezim Orde Lama runtuh, maka lahirlah rezim Orde Baru. Pada saat itu api gejolak mahasiswa begitu tinggi, mereka begitu sigap mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat maka dikala itu pula rezim Orde Baru bersiasat untuk melunturkan semangat idealisme mahasiswa. Mereka bersiasat dengan memberikan jabatan kepada para mahasiswa yang begitu lantang berteriak mengkritisi pemerintah, pemerintah dikala itu memberikan hadiah dengan disediakannya kursi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong), serta menjadi penjabat pemerintahan. Tentu saja seorang Gie tak lekas tinggal diam, dia memberikan hadiah ‘Lebaran-Natal’ kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Isinya berupa pemulas bibir, cermin, jarum dan benang disertai surat terlampir yang berisi kumpulan tanda tangan.
Yang Terhormat
….
Bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda, saudara kami yang terhormat, yang dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat Anda di DPR-GR
Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru!
Nikmatilah kursi Anda dan tidurlah yang nyenyak!
Teman-teman Mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ‘66
Gie dengan vocal serta keberanian tentu saja menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang melenceng itu, ia juga menilai banyak para pejabat di pemerintahan yang hanya mementingkan perut mereka sendiri, mereka membiarkan rakyat duduk diam telanjang di rumah dengan lapar sedangkan mereka berpesta ria dengan gadis-gadis mereka, didalam kesehariannya sendiripun ia sering memberikan kesadaran kepada teman-temannya yang kala itu tergabung di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) untuk senantiasa hidup menjadi manusia yang merdeka dipenuhi idealisme serta menjadi manusia-manusia yang non-kompromis, ia menilai ketika para mahasiwa dan pemuda menjadi kompromi maka buang saja jauh-jauh idealisme mereka dengan mengatakan bahwa,”Ketika dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus. Bergabunglah dengan grup yang kuat (Partai, Ormas, ABRI, dan lain-lainnya) dan belajarlah teknik memfitnah dan menjilat. Karir hidup akan cepat menanjak. Atau kalau mau lebih aman kerjalah di sebuah perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan-jaminan lain dan belajarlah patuh dengan atasan. Kemudian carilah istri yang manis. Kehidupan selesai.”
Kehidupannya begitu heroik, begitu banyak orang-orang yang mengagumi dirinya serta keberaniannya menentang segala yang tanda tanya, tanggal 16 Desember 1969 ia menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Semeru di umurnya yang begitu muda, 26 tahun. Ia abadi di puncak Gunung Semeru, namanya tercatat di sejarah bangsa Indonesia sebagai pemuda yang merdeka. Ia pernah menuliskan
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.”
Maka di era saat ini, dimana banyak panggung publik dikuasai oleh siapapun baik entertainer, youtuber, bahkan politikus sekalipun. Kita para pemuda sekarang ini begitu dilema untuk mencari sosok figur idealis yang dapat dijadikan sebagai Patron dalam menjalankan kehidupan. Kini banyak dari golongan mahasiswa yang terjebak dalam menentukan sosok figur mereka sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang hanya mengikuti trend belaka. Untuk itu sudah seharusnya kita sebagai pemuda melek terhadap permasalahan bangsa ini serta mampu mengarahkan kehidupan bangsa ini. Karena yang dapat dilihat sekarang mahasiswa hanya duduk diam dirumah memainkan gawai mereka dan lupa akan jalannya hidup.
Dari sekian banyak pesan serta perjuangan Soe Hok Gie yang berbekas hingga kini, ia hanya meminta kepada para mahasiswa sebagai agent of change dan merupakan titik tumpuan bangsa ini untuk memiliki keteguhan dalam berprinsip dan berani dalam bersikap itulah bekal utama dalam menyuarakan kebenaran dan menghadapi sesuatu yang tanda tanya.
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
Soe Hok Gie
(Yodi Agam)
Editor : Jamaludin Darma