Darussalam – Aceh merupakan sebuah daerah yang terletak di ujung Indonesia. Selain letak geografisnya yang strategis, Aceh juga memiliki sejarah panjang dalam peradaban politik dan pemerintahan di Indonesia. Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki partai politik lokal yang berpengaruh dalam politiknya. Hal ini merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Keadaan tersebut telah membawa perubahan yang signifikan terhadap dinamika pembangunan Aceh.
Keistimewaan yang Aceh dapatkan bukanlah sebuah hal yang mudah, semua itu berawal dari konflik panjang antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Latar belakang konflik muncul akibat kemarahan atas eksploitasi kekayaan alam Aceh, yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh. Hal ini menjadikan pemimpin GAM memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie.
Pada tanggal 15 Agustus 2005 perdamaian antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia bisa diwujudkan. Perdamaian tersebut difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang dipimpin oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, yang kemudian perdamaian tersebut lebih dikenal dengan sebutan MoU Helsinki.
Dalam MoU Helsinki terdapat butir kesepakatan untuk memberikan wewenang dalam mendirikan partai politik lokal (parlok) di Aceh, dimana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkeinginan masuk dalam politik di tingkat lokal. Kemudian hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (selanjutnya disingkat UUPA), pada Bab XI Partai Politik Lokal Pasal 75 ayat (1) menentukan bahwa penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.
Sejak disahkannya UUPA tersebut perkembangan partai politik lokal sangat pesat, pada awalnya tercatat 20 partai politik lokal yang siap mewarnai perpolitikan di Aceh. Namun, setelah melalui beberapa tahap verifikasi hanya enam partai lokal yang dapat ikut serta dalam pemilu. Partai-partai lokal tersebut adalah Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai SIRA (Soliditas Independen Rakyat Aceh), Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Atjeh. Hasil pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) pada tahun 2009, Partai Aceh (PA) dinyatakan sebagai partai pemenang pemilu dengan perolehan suara terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh dengan perolehan kursi sebanyak 33 kursi dari total 69 kursi.
Pada pemilu 2014 terjadi sedikit perubahan, hal ini dikarenakan aturan pemilu yang diatur dalam Undang-Undang UUPA Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Lokal. Berdasarkan aturan ini, partai yang berpartisipasi dalam pemilu termasuk partai lokal, harus memenuhi diambang batas 5 % dari jumlah kursi di DPR Aceh atau memperoleh sekurang-kurangnya 5 % dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) yang sekurang-kurangnya satu atau dua jumlah kabupaten/kota di Aceh. Sehingga pada tahun 2014 tercatat hanya tiga partai lokal yang dapat mengikuti pemilukada, yaitu Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Aceh.
Pada pemilu 2019 terdapat empat partai lokal yang dapat mengikuti kontestasi pemilu. Partai tersebut yaitu, Partai Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan Partai Nanggroe Aceh. Sedangkan pada pemilu tahun 2024 ini, ada enam partai lokal yang menjadi peserta pemilu, yaitu Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh, Partai Generasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Nanggroe Aceh, dan Partai Sira.
Sejak ditandatanganinya Perjanjian Helsinki pada tahun 2005, terjadi evolusi yang penting dalam dinamika partai politik lokal di Aceh. Meskipun Partai Aceh telah menjadi kekuatan dominan dalam politik Aceh, persaingan politik yang rumit dan beragam terus berlanjut, memengaruhi arah dan kebijakan politik di provinsi tersebut. Selama periode pasca-konflik, Aceh menyaksikan pertumbuhan partai-partai lokal yang mengadvokasi otonomi dan kepentingan khusus Aceh. Isu-isu seperti penerapan hukum syariah, rekonstruksi pasca-konflik, dan pembangunan infrastruktur telah menjadi fokus politik, sementara dinamika politik secara keseluruhan terus berubah sejalan dengan perkembangan nasional dan lokal.
(Perspektif/ Alam, Fadia)
Editor : Cut Meisya Salsabila