Darussalam – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 pada Rabu, 20 Maret 2024, dalam Rapat Pleno Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Nasional Pemilihan Umum 2024. Melihat dinamika yang ada sepanjang penyelenggaraan pemilu tahun 2024 ini, tentunya sangat mungkin terdapat pihak-pihak yang tidak puas bahkan keberatan terhadap hasil pemilu yang telah diumumkan oleh KPU. Adanya dugaan kecurangan pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif tentunya menjadi alasan utama bagi para pihak yang keberatan terhadap hasil pemilu.
Sebagai negara hukum yang menjamin berlangsungnya prinsip demokrasi, tentunya Indonesia harus memiliki regulasi terkait penegakan hukum pemilu, khususnya dalam memberikan kesempatan bagi para pihak yang merasa hak electoral-nya dirugikan dalam penetapan hasil pemilu.
Setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU, maka selanjutnya proses penegakan hukum pemilu akan berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sesuai dengan kewenangan MK dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Para pihak yang keberatan dengan putusan KPU terkait hasil pemilu dapat mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke MK. Untuk para peserta pemilu seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan permohonan PHPU ke MK dalam jangka waktu 3×24 jam sejak hasil pemilu ditetapkan secara nasional oleh KPU. Sedangkan untuk para peserta pemilu presiden dan wakil presiden dapat mengajukan permohonan PHPU ke MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden oleh KPU.
Upaya pengajuan PHPU ke MK dipandang tidak hanya sebagai alat legitimasi atau pemberian stempel terhadap hasil pemilu saja, tetapi juga mesti dipandang sebagai upaya untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara bersih, jujur, adil, akuntabel, dan berintegritas.
MK harus memastikan bahwa nantinya dalam putusan terhadap PHPU dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan kepada publik. Hal ini tidak terlepas dari krisis kepercayaan publik terhadap MK pasca Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Momentum penyelesaian PHPU ini nantinya harus dapat dimanfaatkan oleh MK untuk membuktikan bahwa MK masih independen sekaligus guna membantah isu adanya konflik kepentingan di tubuh MK. Pulih atau tidaknya kepercayaan publik terhadap MK akan sangat ditentukan oleh isi putusan MK terhadap proses PHPU. Apabila dalam putusan tersebut nantinya MK tetap menunjukkan indikasi adanya konflik kepentingan dan gagal mewujudkan keadilan, maka itu sama artinya bahwa MK telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan pengendali keputusan berdasarkan sistem demokrasi (control of democracy). Harapannya adalah semoga MK dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan yang seadil-adilnya dalam putusan terhadap PHPU yang diajukan nantinya.
(Mahasiswa Fakultas Hukum USK/Muhammad Erlangga Nasution)
Editor : Cut Meisya Salsabila