Darussalam – Dewasa ini punya pekerjaan mapan, atasan yang baik hati dan workplace yang tidak toxic adalah impian setiap generasi. Tapi bagaimana jadinya jika untuk bekerja saja syarat yang diminta di awal sudah nyeleneh dan tidak masuk akal. Belum lagi maraknya pernyataan yang mengatakan bahwa, “Zaman sekarang cari kerja mah mudah, asal ada orang dalam”. Waduh, kalau enggak punya orang dalam berarti tidak bisa kerja dong?
Eitss jangan salah, dunia kerja tidak semenakutkan itu kok. Percaya ga percaya, di dunia yang serba instan ini masih ada orang dalam yang kredible dan terjamin legalitasnya. Employee Referral Program atau yang biasa dikenal sebagai karyawan rekomendasi pada dasarnya ialah program yang sengaja disusun secara terstruktur oleh suatu perusahaan dalam upayanya mencari karyawan dengan potensi terbaik dengan cara menerima rekomendasi dari karyawan mereka melalui jaringan yang dimiliki, baik itu secara eksternal maupun masih dalam jaringan internal perusahaan.
Mekanismenya yang memudahkan juga kerap kali membuat pihak Human Resources and Development (HRD) jatuh cinta dengan metode satu ini. Mulai dari memudahkan HRD untuk mencari karyawan dengan standar yang diminta, mengurangi cost per hire dan mengefisiensikan waktu, employee referral ini juga dinilai dapat menjadi media yang tepat untuk HRD lebih mengetahui tentang sosok calon karyawan yang direkomendasikan.
Namun bukan berarti dalam praktiknya selalu mulus-mulus saja. Manipulasi pun kerap kali mewarnai, hingga akhirnya banyak orang salah pandangan terkait orang dalam dengan orang rekomendasi. Yang perlu diluruskan di sini adalah bentuk konotasi dan makna dari kedua kata tersebut. Orang dalam selalu merujuk pada konotasi negatif dengan makna sebenarnya yang merujuk pada mereka yang memiliki koneksi khusus dengan para petinggi dari suatu perusahaan atau institusi yang mana hal ini digunakan oleh orang tersebut untuk mendapat pekerjaan meskipun memiliki kompetensi yang tidak memadai. Lain lagi dengan orang rekomendasi atau Employee Referral yang merupakan program dengan struktur yang jelas di mana HRD menyeleksi kandidat karyawan melalui jalur rekomendasi dari karyawan di perusahaannya.
Bukan tak berpasal, paradigma yang berkembang hingga susah membedakan mana satire untuk menunjukkan kesewenang-wenangan secara ilegal dan mana yang memang proses rekruitmen yang legal. Hal ini disebabkan karena di Indonesia sendiri marak terjadi fenomena orang dalam. Pada dasarnya, fenomena ini dapat dikatakan menyalahi kode etik, sehingga banyak dari angkatan kerja yang berpartisipasi dalam pasar kerja menjadi trust issue kepada suatu perusahaan atau badan dan institusi tertentu.
Hal ini berbeda dengan orang rekomendasi yang statusnya tentu saja legal dikarenakan hubungan yang dimaksud tidak beralasan karena pribadi dan tetap melewati proses tes seperti yang seharusnya dilakukan. Perbedaan ini tidak dapat dinilai secara tipis-tipis, melainkan menjadi bukti nyata yang menarik benang pembeda bahwa dua proses rekrutmen dalam pasar kerja haruslah dapat dipertanggung jawabkan.
Mencari pekerjaan adalah keharusan bagi mereka yang menginginkan pekerjaan, tapi mendapat pekerjaan dengan cara yang halal dan legal adalah tanggung jawab dan etika setiap orang yang mencari kerja.
(Perspektif/ Novi Rahmawati)
Desain: Naurah Syakirah
Editor : Dinda