Banda Aceh ― Gelombang aksi demonstrasi yang melakukan aksi memprotes pengesahan Omnibus Law terkhususnya Undang-Undang Cipta Kerja hari ini kian memanas,―bahkan terjadi di seluruh Indonesia, dan sayangnya banyak berimbas pada rusaknya fasilitas umum yang menjadi korban para aksi ini.
Jakarta, terutama di daerah Harmoni alami situasi chaos, banyak fasilitas umum yang dirusak bahkan dibakar habis-habisan, dan berbagai daerah lainnya yang mengalami bentrokan dengan pihak kepolisian yang menjadi tameng untuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Berbicara spesifik tentang masalah Omnibus Law terkhususnya Undang-Undang Cipta Kerja ini sebetulnya sudah banyak yang membahasnya, bahkan banyak peristiwa yang epic dari cuplikan video sewaktu DPR RI yang sempat menjadi trending di twitter.
Logika untuk masalah ini sepertinya lebih cocok, andai bila Tuan dan Puan yang terdahulu sempat meminta suara rakyat ini membuka ruang diskusi untuk partisipasi publik sejak awal, andai,―mungkin keadaan tidak akan chaos seperti saat ini yang banyak diduga-duga akan menjadi Tragedi 1998 episode 2.
Tak hanya Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta saja, Aliansi Koetaradja Memanggil di Banda Aceh memanggil untuk melakukan demo usai disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker yang dirasa meresahkan rakyat kecil. Aksi ini berlangsung dimulai dari titik kumpul Gelanggang Mahasiswa Unsyiah, Darussalam, dan berlabuh didepan gedung DPR-Aceh, yang mana dimulai dengan sambutan guyuran hujan deras tetapi tidak menurunkan semangat para mahasiswa (8/10).
Sebagaimana diketahui, massa aksi tersebut tetap terlaksanakan untuk menyuarakan aspirasi mereka tentang pengesahan UU Omnibus Law terkhususnya Undang-Undang Cipta Kerja, yang mana terlalu senyap dengan minimnya partisipasi publik. Dalam massa ini, Aliansi Koetradja Memanggil menetapkan untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan dalam aksi ini.
Massa aksi kali ini tidak sia-sia, aksi yang digerakkan mulai pada pukul 09:00 yang sempat tertunda akibat cuaca buruk hingga dimulai lagi pada pukul 11:00 saat massa sudah berkumpul dengan dimulainya orasi oleh mahasiswa, yang mana membuahkan hasil yakni empat anggota DPR Aceh, Bardan Saidi, Nora Idah Nita, T Ibrahim dan Fuadri menemui massa dan memenuhi tuntutan mahasiwa yang disuarakan dalam aksi tersebut.
Petitum adalah hal yang dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan; replik merupakan respon penggugat atas jawaban tergugat; sedangkan duplik merupakan jawaban tergugat atas replik dari penggugat. Adapun beberapa poin-poin tuntutan yang dituntut mahasiswa kepada DPR Aceh adalah sebagai berikut:
- Mendesak presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan/pencabutan terhadap pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
- Mendesak DPRA dan DPR RI untuk menyatakan sikap penolakan dengan menandatangani petisi penolakan serta mendukung presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan/pencabutan terhadap pengesahan UU Omnibus Law Cipta K
- Mendesak DPRA untuk menjaga kedudukan Aceh sebagai daerah keistimewaan atau daerah yang memiliki otonomi khusus yang berlandaskan undang-undang pemerintahan Aceh (UUPA).
- Mendesak permintaan maaf dari anggota dewan dapil Aceh yang merupakan bagian dari fraksi-fraksi partai yang mendukung pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker.
- Mendesak pemerintah dalam hal ini DPR RI untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia terhadap pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan.
- Mendesak dan meminta DPR RI untuk mengindahkan aspektransparansi aspirasi dan partisipasi publik terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan Omnibus Law Ciptaker ini.
Dengan arahan koordinator lapangan (korlap), Rezka Kurniawan, keadaan dapat terkendali kembali sehingga pembacaan poin-poin tuntutan dapat berlangsung lancar.
Selanjutnya, di depan mahasiswa, salah satu politisi yaitu Bardan Saidi dari Fraksi PKS menyatakan akan segera menindaklanjuti poin-poin tuntutan yang diserahkan oleh para mahasiswa dalam kurun waktu kurang dari 1 x 24 jam.
Menurutnya, Aceh berhak menolak UU Cipta Kerja tersebut, karena Aceh mempunyai Undang-Undang sendiri tentang ketenagakerjaan.
“Karena Aceh mempunyai Undang-Undang sebelas tentang Pemerintahan Aceh Qanun Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Ketenagakerjaan,” jelas Bardan. (Nur Fadilla/Perspektif)
Editor : Abi Rafdi