
Darussalam – Membahas hak bersuara, siapa saja dapat menyampaikan pendapat termasuk media untuk menyampaikan informasi yang sedang beredar di lingkungan masyarakat. Kebebasan media untuk bersuara sering mendapat permasalahan dari banyak pihak, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Akhir-Akhir ini masyarakat dihebohkan dengan kabar berita yang dikeluarkan melalui surat telegram internal yang disampaikan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), surat yang bernomor ST/750/IV HUM.3.4.5/2021 yang dikeluarkan pada (5/4/2021) setidaknya menyampaikan 11 poin penting yang hampir keseluruhannya memuat tentang pembatasan media untuk bersuara.
Dari kesebelas poin tersebut, yang menjadi titik perhatian masyarakat terdapat pada poin pertama yang berisi “Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian tegas namun humanis” . Kapolri bermaksud agar masyarakat tidak menyaksikan perilaku arogansi dan kekerasan dari pihak kepolisisan saat menjalani tugasnya .
Namun, masyarakat menilai bahwasanya di tengah transformasi polisi menuju kepolisian yang modern dan terbuka sangat disayangkan apabila kebijakan seperti ini dikeluarkan oleh sang Kapolri yang dapat membatasi upaya kontrol masyarakat yang independen. Kendati demikian, Kapolri juga menyampaikan bahwasanya surat tersebut hanya ditunjukan kepada internal Polri sendiri.
Pada dasarnya kita tau bahwa polisi tidak bisa selalu menjalankan tugasnya secara humanis, ada kondisi tertentu yang menuntut seorang polisi untuk menunjukkan sikap arogansinya agar dalam kasus-kasus tertentu dapat berjalankan dengan baik sesuai dengan yang sudah direncanakan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Kapolri agar masyarakat tidak menyaksikan hal-hal bersifat arogansi dari anggota Polri sendiri, artinya Kapolri berharap yang disiarkan ke ranah publik adalah perilaku-perilaku polri yang humanis saja agar reputasi dari polri sendiri dapat terlihat baik dan ramah, siap mengayomi serta dapat menjadi pelindung kepada masyarakat.
Di sisi lain banyak yang beranggapan bahwa keputusan ini dapat membatasi media dalam bersuara, artinya jika keputusan ini sah diberlakukan maka mulai saat itu juga media mulai tidak bias menyampaikan berita secara transparansi lagi, media cenderunghanya memberitakan kejadian- kejadian yang sudah di poles dengan manisan fakta sehingga apa yang diberitakan ke ranah publik tidak sesuai dengan fakta di lapangan atau apa yang terjadi di lapangan tidak dapat sepenuhnya diberitakan oleh media lagi.
Patut sangat disayangkan di zaman yang penuh kebutuhan akan transparansi publik ini, Kapolri justru berupaya membatasi akses media dalam menyampaikan berita kepada masyarakat. Meski kapolri hanya bermaksud baik untuk menjaga reputasi dari lembaga yang dipimpinnya, tetapi masyarakat juga sadar bahwa segala perilaku arogansi pihak polri dalam menjalankan tugas hanya bertujuan untuk kesuksesan tugasnya, sebenarnya hal ini tidak perlu di tutup-tutupi kepada masyarakat umum.
Namun, setelah menimbang pro dan kontra yang beredar dikalangan masyarakat dan juga atas dasar banyaknya kecamandari berbagai kalangan, (6/4/2021) tepat selang sehari setelah surat tersebut dikeluarkan oleh Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo resmi surat tersebut resmi di cabut dan dipastikan tidak dapat diberlakukan lagi. (Haraky/Pm)
Editor : Cyn