Darussalam – Tugu Perjuangan Rimba Raya yang terletak di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh merupakan salah satu bukti perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pemandangan gunung dan udara sejuk membuat pengunjung betah berlama-lama berada di sekitar Monumen Rimba Raya meskipun berada di luar ruangan. Monumen ini dilengkapi dengan narasi tentang perjuangan Indonesia melawan klaim Belanda.
Sejarah berdirinya monumen ini terjadi pada tahun 1948, saat itu Indonesia kembali dikuasai oleh Belanda yang melakukan Agresi Militer II di Yogyakarta dengan tujuan menghancurkan status Republik Indonesia. Presiden Dr. Ir. H. Soekarno bersama wakilnya Mohammad Hatta ditahan dan diasingkan di Bangka Belitung kemudian seluruh siaran radio di Indonesia dibombardir oleh Belanda sehingga tidak dapat mengudara lagi. Pada saat itu, radio Belanda Hilversum secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Syafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Presiden Darurat Indonesia pun tidak tinggal diam, berbagai cara dan upaya terus dilakukan, siasat demi siasat pun terus dijalankan. Hingga suasana semakin genting, tepatnya pada tanggal 20 Desember 1948 di titik Tugu Perjuangan Rimba Raya, Radio Indonesia dapat kembali mengudara. Tentara Indonesia akhirnya menyatakan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia masih ada dan membantah kabar burung yang disiarkan Belanda. Siaran dilakukan dengan menggunakan 5 bahasa yaitu Bahasa Urdu, Indonesia, Inggris, Belanda dan India, itulah mengapa monumen ini memiliki 5 pilar. Atas peristiwa itu, Aceh disebut sebagai daerah modal Republik Indonesia. Pada awalnya, tempat ini bernama Tanoh Ilang dan berganti menjadi Rimba Raya yang memiliki arti hutan lebat.
Setelah keadaan Indonesia aman dan berangsur membaik, maka dibangunlah Monumen Radio Perjuangan Rimba Raya pada tahun 1989 dan diresmikan pada tanggal 20 September 1990 oleh Busthanul Ariffin yang hingga kini menjadi lambang Kabupaten Bener Meriah. Sangat disayangkan, meskipun radio ini merupakan tempat wisata bersejarah tetapi tempat ini tidak begitu ramai dikunjungi oleh wisatawan karena fisik museum yang sederhana, masih terkesan kaku, tidak terawat dan tidak ada yang bisa dieksplor. Kebanyakan yang berkunjung adalah mahasiswa, pelajar dan pihak-pihak tertentu yang mengadakan pertunjukan. Wisatawan dapat menghubungi juru kunci Monumen Radio Rimba Raya jika ingin mendapatkan informasi lebih mendalam.
Menariknya, pengusulan perbaikan monumen ini sempat terhenti dikarenakan pandemi Covid-19 “Baru-baru ini kepala desa sudah menjumpai Kepala Dinas Pariwisata Bener Meriah dan sudah mengajukan pembangunan jalan lingkar sampai tembus ke kilometer 60, kemudian kita usulkan pembangunan museum, meunasah dan sarana olahraga namun masih belum ada tanggapan hingga saat ini,” Tutur Rahmadi selaku juru kunci.
Radio autentik saat ini sudah dimuseumkan di Kota Yogyakarta dan tidak bisa dipulangkan ke Aceh karena merupakan barang inventaris negara. “Kami berharap Radio Rimba Raya ini tetap mengudara, lalu kami usulkan untuk dibangun pemancar radio disini karena yang asli sudah tidak mungkin dipakai,” ungkap Zainuddin selaku ketua POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata).
Zainuddin berharap beberapa hal kepada pemerintah mengenai kelanjutan Monumen radio Rimba Raya sebagai monumen nasional. Pertama, hendaknya sejarah radio Rimba Raya dimasukkan ke dalam satu kurikulum pembelajaran agar khalayak ramai tahu bahwa Aceh memiliki kontribusi krusial yang cukup tinggi terkait kemerdekaan. Kedua, masyarakat sekitar berharap monumen ini dapat mengangkat perekonomian dan mengurangi pengangguran. Ketiga, menambah daya tarik tugu ini di mata pengunjung asing maupun lokal dapat berupa foto pejuang yang ikut andil dalam mengudarakan radio maupun lainnya.
(Perspektif/ Shatila, Mutia)