Darussalam – Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan makanan terpenting yang sulit digantikan, dan sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Dengan perkembangan zaman yang sangat pesat belakangan ini, minyak kelapa sawit yang sebelumnya digunakan untuk minyak goreng dialihfungsikan sebagai energy alternative pengganti BBM.
Meski kebijakan ini membawa dampak positif, namun siapa sangka kebijakan tersebut malah menimbulkan masalah baru. Jumlah permintaan terhadap kebutuhan Crude Palm Oil (CPO) dunia menjadi naik, akan tetapi produksi CPO sendiri mengalami penurunan, sehingga selain mahal, CPO juga menjadi langka.
Masyarakat bertanya-tanya, lantas apa alasan sebenarnya dari kenaikan harga minyak goreng di Indonesia? Padahal Indonesia sendiri adalah negara penghasil kelapa sawit dan juga produsen CPO terbesar yang seharusnya tidak ikut merasakan kelangkaan ini.
Nah, ada beberapa alasan penyebab terjadinya lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng di antaranya :
- Permintaan tinggi di tengah produksi turun akibat musim hujan.
Musim hujan membuat hasil panen kelapa sawit menurun, dengan menurunnya produktivitas maka harga jual akan dinaikkan untuk menutupi biaya produksi.
- Harga CPO internasional yang naik cukup tajam.
Karena produksi CPO menurun maka harga internasional otomatis melonjak. Lantas mengapa di dalam negeri penghasil juga ikut naik? Hal ini dikarenakan produsen menjual produknya dengan menyesuaikan harga internasional.
- Penerapan kebijakan B30
Kebijakan ini menyebabkan kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel. Indonesia adalah yang pertama kali mengusungkan program ini, permintaan melonjak namun hasil produksi menurun sehingga harga pun tak bisa ditawar.
- Dampak pandemic Covid-19
Banyak kegiatan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19 ini, salah satunya seperti menyebabkan gangguan logistis angkutan barang produksi, yang mana tentu juga menyebabkan kenaikan biaya angkutan, dan mempengaruhi harga jual.
Menanggapi hal ini, pemerintah tentunya tidak tinggal diam. Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu menetapkan kebijakan satu harga Rp14.000. Pemerintah menetapkan kebijakan ini pada awal triwulan 1 2022, namun sayangnya upaya ini tidak berhasil dan membuat masyarakat “panic buying” sehingga minyak goreng di market modern menjadi langka dan tentu pembagiannya tidak merata, begitu pun begitu di pasar tradisional.
Pemerintah juga menerapkan kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi) terbaru. Pemerintah menyesuaikan HET minyak goreng mulai berlaku 1 Februari 2022 termasuk PPN, yang meliputi : Curah Rp11.500, Sederhana Rp13.500, dan Premium Rp14.000. Dengan kebijakan ini diharapkan masyarakat tidak lagi “panic buying” dan penyaluran minyak goreng lebih merata.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Setelah kegagalan kebijakan satu harga, tidak lama berselang pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan produsen untuk memasok produk CPO ke pasar domestik dengan ‘harga khusus’ yaitu harga yang lebih rendah dari harga internasional. Kebijakan ini tentunya membuat produsen hingga petani merasa dirugikan, pasalnya harga panen para petani pun menjadi lebih rendah.
kebijakan larangan terbatas ekspor CPO juga turut dilakukan pemerintah. Untuk melakukan ekspor CPO produsen harus memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari pemerintah.
Namun, satu problematika internal yang menganggu kembalinya Indonesia menuju keadaan normal yakni banyaknya oknum tidak bertanggung jawab yang berbuat curang, seperti oknum yang menimbun minyak, dan oknum ‘produsen’ yang melakukan ekspor secara ilegal dengan tujuan mendapat keuntungan yang lebih besar, itu sebabnya minyak goreng masih tergolong mahal dan langka hingga saat ini.
(Perspektif/ Dinda dan Akmalia)