Darussalam – Represi, suatu istilah yang masih terus menerus menghantui Lembaga Pers Mahasiswa (Persma), hal ini terjadi karena berbagai pihak yang ingin mengekang dan membatasi eksistensi Persma, seolah-olah ada banyak kaki tangan yang berkepentingan dan mencoba menjinakkan lembaga ini dengan berbagai cara termasuk represi. Hal ini terjadi disebabkan berbagai hal, salah satunya sebab Persma adalah media yang mampu menarik banyak atensi ketika menyampaikan informasi. Represi dapat menyebabkan Persma tidak lagi bebas beropini sehingga sikap netral untuk menyampaikan informasi terus terminimalisir. Ancaman baru tak kalah kuat menghujani, karena secara legalitas tak ada payung hukum yang cukup kuat untuk dapat melindungi kebebasan Persma dalam memperjuangkan dan melindungi nilai-nilai jurnalis dalam berekspresi.
Ancaman terhadap Persma bukan saja dari pihak luar kampus, justru kebanyakan dari dalam lingkungan kampus tempat Persma itu berdiri. Pihak kampus sering menganggapnya sebagai ancaman yang dapat mengakibatkan nama besar suatu kampus kehilangan citra baiknya. Seperti sumber Persma.id yang mengatakan tentang LPM Poros yang mendapat ancaman pembekuan akibat liputan mereka tentang ketidakpastian pihak universitas dalam pembukaan fasilitas kesehatan kampus, hal ini belum tentu berhenti di situ, kasus ini bisa makin menjamur menjadi lebih buruk lagi, bisa jadi hari ini ancaman hanya pada Persma saja namun ke depan mungkin saja menjadi ancaman secara personal, ancaman drop out (DO) atau sebagainya kepada para anggota Persma. Hal ini tentu dapat dilakukan pihak kampus dengan wewenang mereka yang lebih tinggi dari pada Persma itu sendiri, ditambah karena Persma tidak memiliki regulasi yang kuat sebagai bentuk tameng dari represi.
Berdasarkan Annual Report Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada Tahun 2022 silam yang menyatakan bahwa alasan mengapa Persma terus direpresi yaitu karena kurangnya penghormatan dan pemenuhan terhadap kebebasan berekspresi di lingkungan kampus, lalu belum adanya perlindungan secara komprehensif terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilaksanakan oleh Persma dalam lingkungan kampus, hal ini juga karena belum adanya komitmen yang dibangun oleh kementerian terkait.
Represi membuat Lembaga Persma harus berpikir dua kali ketika ada hal yang seharusnya sangat tepat untuk ditindaklanjuti, sikap berani dan jujur mereka terancam akibat resiko besar yang mungkin terjadi apabila mereka tetap mempublikasikannya. Tanpa adanya legal standing, maka posisinya menjadi rentan. Meskipun, kerja-kerja yang dilakukan telah sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Menjadi bagian dari Lembaga Persma yang kritis memang berisiko besar, namun ketika ketidakadilan terjadi, Persma tidak mungkin hanya berdiam diri. Ketidakadilan itu nyata adanya dan hari ini mungkin kita bisa tertawa, namun tidak menutup kemungkinan jika besok kita yang menjadi korban dari sebuah represi. Hal ini menjadi alasan mengapa berbagai Persma di Indonesia berjejaring, saling menguatkan, dan memperjuangkan kejelasan dari hukum yang melindungi eksistensinya. Memperjuangkan eksistensi Persma adalah salah satu bentuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai manifestasi dari memperjuangkan ideologi demokrasi Pancasila seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(Perspektif / Yulisma & Teuku Arief)
Editor : Dinda Syahharani