Darussalam – Brasil, Rusia, India, China, South Africa (BRICS) adalah organisasi kerja sama internasional negara-negara berkembang yang didirikan sejak tahun 2009. Awal mulanya organisasi ini bernamakan BRIC yang berbasis dari 4 negara yang menjadi anggota yaitu, Brazil, Rusia, India , dan Cina. Barulah pada tahun 2011 BRIC berubah menjadi BRICS setelah Afrika Selatan (South Africa) ikut bergabung secara resmi didalamnya. BRICS hadir sebagai sebagai wadah kerja sama ekonomi, politik, investasi, dan pembangunan bagi para anggotanya serta alternatif untuk mengatasi dominasi negara-negara barat seperti Amerika Serikat. Pada tahun 2024, Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, dan Ethiopia bergabung menjadi anggota BRICS. Kemudian pada Januari 2025, Indonesia secara resmi menjadi anggota baru BRICS.
Sejak resmi bergabung pada 6 Januari 2025, Indonesia telah menjalani 100 hari sebagai anggota BRICS. Langkah ini menjadi bagian dari strategi Indonesia untuk memperluas kerja sama ekonomi di luar negara-negara Barat. Keanggotaan ini juga membuka akses ke pendanaan dari New Development Bank (NDB) yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dan infrastruktur. Bergabung dengan organisasi ini pula dapat memperkuat posisi Indonesia di forum internasional, khususnya dari perspektif negara berkembang. Namun, apakah bergabung dengan BRICS benar-benar menguntungkan Indonesia, atau justru menimbulkan risiko ?
Pertama, jika dilihat dari sisi ekonomi menurut laman kemnhan.go.id peluang pasar pada BRICS sangat besar. Negara anggotanya memiliki jumlah populasi 40% penduduk dunia. Produk yang menjadi unggulan Indonesia seperti minyak kelapa sawit, batu bara, hingga tekstil akan mendapatkan pasar yang lebih luas. Selain itu Indonesia telah bergabung ke New Development Bank yakni bank pembangunan multilateral negara anggota BRICS untuk fokus membiayai proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan. Perluasan mitra dagang lebih luas seperti dengan negara Rusia mampu memberikan impor teknologi pertahanan yang lebih murah.
Jika dilihat dari sisi diplomasi, BRICS dapat menjadi wadah bagi negara-negara berkembang mengupayakan reformasi ekonomi global serta mewujudkan politik bebas aktif Indonesia. Ini menunjukkan Indonesia tidak hanya menjalin kerjasama dengan negara-negara barat. Sebagai negara demokrasi besar, dengan bergabung BRICS Indonesia dapat memberikan perspektif baru terhadap kebijakan global sehingga meningkatkan pengaruh diplomatik Indonesia.
Dari segi keuntungan, Indonesia jelas menambah kursi berpengaruh di meja kekuatan global. BRICS bukan sembarang forum, karena seperti yang disebutkan diatas bahwa ini adalah organisasi yang menaungi kurang lebih 40% dari populasi dunia. Potensi keuntungan dalam bidang ekonomi seperti prospek kerjasama dagang, akses ke pendanaan New Development Bank, serta peluang investasi global juga pastinya tidak luput dari proyeksi.
Namun, risiko buntung juga nyata. Meski keanggotaan Indonesia dalam BRICS banyak dipuji sebagai langkah strategis untuk memperluas jangkauan global, namun realitas di lapangan tidak serta-merta menjanjikan jalan yang mulus. Keanggotaan ini bukan tanpa konsekuensi, BRICS bukan blok yang steril dari konflik. Indonesia kini masuk ke dalam sebuah poros kekuatan yang diwarnai dengan berbagai agenda nasional masing-masing anggota, mulai dari ambisi China dalam sistem keuangan global, maupun posisi Rusia yang semakin terisolasi dari Barat.
Dalam konteks ini, Indonesia berisiko masuk ke dalam pusaran tarik-menarik geopolitik yang bisa berdampak pada ketegangan diplomatik karena posisi Indonesia selama ini dikenal moderat dengan kebijakan luar negeri bebas dan aktif yaitu menjaga jarak yang proporsional antara Timur dan Barat. Maka menilik hal tersebut, Indonesia dituntut untuk mampu memainkan peran aktif tanpa kehilangan identitas diplomatiknya sendiri.
Jadi, untung atau buntung ? Sejauh ini, 100 hari masih terlalu dini untuk menilai secara mutlak. Namun, sinyal-sinyal awal menunjukkan bahwa Indonesia punya potensi besar untuk meraih keuntungan strategis dari keanggotaan ini, asal mampu memanfaatkan peluang dengan cerdas dan menjaga keseimbangan diplomatik.
Kedepannya, yang akan menjadi penentu adalah sejauh mana Indonesia bisa mengoptimalkan posisi barunya untuk memperkuat ekonomi nasional, membuka akses pasar baru, dan memperbesar pengaruhnya dalam percaturan global, namun tetap tanpa kehilangan identitas politiknya.
(Perspektif/ Sahira & Adinda)
Editor : Bella