BeritaKampus

Nanggroe Institute Gelar Diskusi Terkait Seni, Adat Istiadat, dan Situs Sejarah Aceh

×

Nanggroe Institute Gelar Diskusi Terkait Seni, Adat Istiadat, dan Situs Sejarah Aceh

Sebarkan artikel ini
By : Nanggroe Institute

Darussalam – Nanggroe Institute kembali mengadakan diskusi terkait nasib dan kondisi seni, adat istiadat, serta situs sejarah di Aceh pada Rabu (30/10/2024). Kegiatan yang berkolaborasi dengan Polarisasi ini menghadirkan narasumber yang ahli di bidangnya.

Diskusi ini digelar karena keresahan berbagai pihak terkait minimnya perhatian terhadap kondisi seni, adat istiadat, dan situs sejarah, khususnya dalam hal pelestarian. Muhammad Zikri, Founder Nanggroe Institute, dalam sambutannya menyampaikan kritik kepada pihak instansi terkait yang dinilai belum menetapkan banyak peninggalan di Aceh Besar sebagai cagar budaya. “Upaya edukasi kepada generasi muda dan kritikan keras ini kami tujukan pada instansi yang seharusnya berperan dalam pelestarian atau perlindungan dugaan cagar budaya di Aceh Besar, yang hingga kini belum ada penetapannya,” ujar Zikri.

Diskusi yang berlangsung di Warkop Gampong Gayo, Darussalam, dihadiri sekitar 90 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi, pegiat seni, pemerhati adat istiadat, serta pelestari sejarah Aceh. Narasumber yang hadir antara lain Dr. Bustami Abu Bakar (Akademisi & Ketua Asosiasi Arkeologi Indonesia), Mizuar Mahdi (Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh), Fauzan Santa (seniman dan budayawan), serta Asnawi Zainun (Ketua Majelis Adat Aceh Besar). Diskusi ini merupakan agenda lanjutan setelah kegiatan mengenang 24 tahun kepergian Safwan Idris.

Dalam pemaparannya, Dr. Bustami Abu Bakar mengungkapkan bahwa sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Aceh Besar lebih memperhatikan warisan budaya, baik yang berbentuk budaya benda (tangible culture) maupun budaya takbenda (intangible culture). Ia berharap semua pihak dapat mengidentifikasi dan mencatat Objek Dugaan Cagar Budaya (ODCB) agar tetap terjaga, tidak berpindah lokasi, dan tetap lestari, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. “Sudah saatnya Pemkab Aceh Besar juga melakukan reorientasi objek wisata, dari sekadar wisata alam menuju wisata sejarah dan budaya bagi wisatawan lokal, nasional, dan internasional,” tambahnya.

Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Besar, Asnawi Zainun, SH, turut menyampaikan pentingnya adat Aceh yang berlandaskan dan menyatu dengan nilai-nilai Islam sebagai identitas masyarakat Aceh. “Adat Aceh yang tertuang dalam petuah hadih maja berperan membentuk jiwa dan karakter masyarakat yang heroik dan tangguh,” ujar Asnawi.

Ia menegaskan bahwa adat tidak hanya soal masa lalu, namun juga mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, di mana nilai-nilainya wajib dipertahankan sementara bentuknya dapat berubah sesuai kebutuhan.

Asnawi juga mengajak para peserta melihat adat sebagai aset bangsa dan investasi masa depan yang memiliki potensi ekonomi melalui industri pariwisata. “Yang dibutuhkan adalah pemikiran kreatif untuk mengelola adat budaya kita yang unik agar menjadi sesuatu yang menarik dan layak jual,” imbuhnya.

Fauzan Santa, seorang seniman dan budayawan, turut menyampaikan pandangannya tentang pentingnya Rancangan Qanun Pemajuan Kebudayaan sebagai upaya perlindungan dan pemanfaatan objek budaya. Ia menekankan bahwa substansi qanun ini masih perlu diperkaya oleh pihak-pihak yang kompeten.

Di sisi lain, Mizuar Mahdi, Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), menyoroti banyaknya situs sejarah yang tersebar di wilayah Aceh, yang sebagian besar berada di pemukiman masyarakat, pesisir, dan rawa-rawa. Menurutnya, situs-situs ini memberikan informasi penting untuk menarasikan kembali sejarah Aceh, namun kondisinya sangat memprihatinkan dan terancam rusak akibat pembangunan dan alih fungsi lahan. “Kita berharap pemerintah lebih ekstra dalam mendata situs-situs tersebut dan menyosialisasikannya kepada masyarakat untuk menghindari kerusakan dan kehilangan,” ujar Mizuar.

Dalam kesempatan tersebut juga hadir Tgk. H. Irawan Abdullah, anggota DPRA 2019-2024, yang menyampaikan upayanya dalam pelestarian situs sejarah menggunakan dana Pokok Pikiran Anggota Dewan (Pokir) untuk 11 situs sejarah di Aceh Besar. Ia mengajak generasi muda untuk membangun semangat kepedulian terhadap budaya, adat, serta cagar budaya sesuai perkembangan zaman, khususnya melalui media sosial.

(Press release: Nanggroe Institute)

Editor: Yulisma Mahbengi