Darussalam – Malahayati lahir di Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad ke-16, pada masa keemasan pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mikammil. Ia merupakan keturunan bangsawan, anak dari Laksamana Mahmud Syah yang juga tokoh militer ternama. Sejak kecil Malahayati sudah menunjukkan kecerdasan dan semangat juangnya. Ia mengenyam pendidikan militer di Mahad Baitul Makdis, semacam akademi militer Aceh pada masa itu.
Salah satu kisah paling menggetarkan dari Malahayati adalah pembentukan Pasukan Inong Balee, yang beranggotakan para janda pejuang yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis dan Belanda. Di tengah duka dan kehilangan, Malahayati berhasil membakar semangat para perempuan ini untuk bangkit dan membela tanah air.
Pasukan Inong Balee tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kuat secara ideologi. Mereka dilatih untuk berperang di laut dan darat, dan dipimpin langsung oleh Malahayati dalam berbagai ekspedisi. Salah satu prestasi paling monumental adalah keberhasilannya membunuh Cornelis de Houtman, pelaut Belanda yang dikenal kejam dan arogan, pada tahun 1599. Aksi ini mengguncang Eropa, karena bukan hanya ekspedisi mereka gagal, tetapi mereka harus mengakui kehebatan seorang laksamana perempuan dari tanah jauh bernama Aceh.
Selain di medan perang, Malahayati juga cemerlang dalam urusan diplomasi. Ia dikenal sebagai sosok tegas namun bijak dalam bernegosiasi. Ketika Belanda mengirim utusan untuk berdamai setelah kematian De Houtman, Malahayati tidak serta-merta luluh. Ia menuntut kompensasi dan meminta Belanda untuk menghentikan agresi di wilayah Aceh. Diplomasi ini mencerminkan kematangan pikirannya yang tidak hanya berani mengangkat senjata, tapi juga tahu kapan saatnya berbicara dan berdamai demi kepentingan rakyat.
Malahayati bukan hanya milik Aceh atau perempuan, tetapi milik bangsa. Ia adalah simbol bahwa cinta tanah air tak mengenal jenis kelamin, status sosial, atau zaman. Keberaniannya mengangkat senjata, kecerdasannya dalam berdiplomasi, dan keteguhannya memimpin pasukan perempuan menjadikannya bukan sekadar legenda, tetapi pahlawan sejati.
Kisah Malahayati mengajarkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah konsep baru dalam budaya kita. Sebaliknya, ia sudah tumbuh subur dalam peradaban Nusantara, jauh sebelum wacana kesetaraan gender menjadi perbincangan akademik. Ini sekaligus menjadi tamparan halus bagi sistem sosial kita hari ini yang kadang masih memandang sebelah mata kemampuan perempuan dalam memimpin. Lihatlah Malahayati, yang bahkan mampu memimpin armada perang dan berdiplomasi dengan kekuatan kolonial Eropa tanpa kehilangan wibawa ataupun martabatnya.
Ironisnya, nama Malahayati sering kali hanya muncul dalam peringatan Hari Pahlawan atau ketika ada seremoni kenegaraan. Setelah itu, ia kembali tenggelam dalam buku sejarah yang berdebu di perpustakaan. Padahal, kita membutuhkan lebih banyak ruang di media, di dunia pendidikan, dan di panggung kebudayaan untuk menceritakan kembali kisah Malahayati kepada generasi muda—bukan sekadar sebagai bahan hafalan, tapi sebagai sumber inspirasi yang hidup dan relevan.
Di tengah tantangan zaman modern, semangat Malahayati adalah pelita yang menuntun generasi muda Indonesia untuk berani, berpikir strategis, dan tidak pernah ragu untuk membela kebenaran. Karena seperti kata pepatah Aceh: “Ureueng meu-adee, geutanyoe tapeugah jeut keu droe.” (Orang yang punya harga diri, akan kita sebut sebagai pemimpin sejati.)
(Perspektif/Gubrina)
Editor: Syawira Rahma Hidaya