Darussalam – Isu wanita selalu terdengar menarik untuk diperbincangkan. Ketimpangan berdasarkan gender seringkali jadi perbincangan utama dalam pemberitaannya, hingga dalam perkembangannya muncullah gerakan feminisme untuk maju di tengah patriarki yang kian dianggap populer. Feminisme untuk pertama kalinya diperkenalkan lewat literatur barat baru tahun 1880 yang dengan tegas menuntut kesetaraan bagi wanita dalam hal hukum dan politik dengan kaum lelaki. Perkembangannya terus diperdebatkan seolah menjadi ancang-ancang pemberontakan terhadap patriarkisme yang mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat dan umumnya digunakan untuk menggambarkan ketidakadilan dan kesenjangan terhadap gender dan penindasan perempuan.
Di sisi lain, sistem patriarki yang kerap kali kita dengar sebagai sebuah sistem sosial dengan menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang acapkali mendominasi dalam memainkan peran dalam hal politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Seolah bertentangan dalam praktiknya, kedua sistem sosial ini serasa berjalan di dua jalur yang tidak menemui titik jumpa. Perbedaan pandangan dalam melihat fenomena peran sosial antara kaum laki-laki dan perempuan menjadi salah satu faktor yang mewarnai perjalanan keduanya dalam kumpulan masyarakat dunia.
Sejalan dengan itu, feminisme gencar mengangkat problematika perempuan dalam berbagai lini kehidupan. Salah satunya yang paling gaung terdengar adalah perihal kekerasan dan penegakan hak-hak perempuan. Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme ini harus melalui sejarah panjang dahulu, bahkan sejak zaman kolonial sudah terdapat beberapa gerakan yang mengacu pada gerakan feminis seperti, Poetri Mardika yang merupakan organisasi perempuan pertama, Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII), Serikat Rakyat Istri Sedar dan organisasi Fujinkai yang mana kedua organisasi ini meskipun berada di bawah Jepang namun tetap berperan penting bagi perempuan kala itu. Dan masih banyak lagi organisasi wanita lain yang berorientasi pada asas feminisme.
Dilansir dari data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan yakni 2.228 kasus/ 38.21% diikuti kekerasan psikis 2.083 kasus/ 35,72%. Sedangkan, data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik sebanyak 6.001 kasus/ 38.8%, diikuti dengan kekerasan seksual dengan 4.102 kasus/ 26.52%. Jika dilihat lebih terperinci, pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi, 1.127 kasus. Sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis, 1.494 kasus. Berbeda dengan lembaga layanan, data di tahun 2022 ini memperlihatkan bahwa di ranah publik dan personal yang paling banyak berbentuk fisik.
Meskipun jumlah pengaduan kasus mengalami penurunan di tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah kasus sebanyak 457.895 dari 459.094, Penurunan pelaporan ini dihimpun dari data lembaga layanan dan Badilag. Sementara itu pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat menjadi 4.371 dari 4.322 kasus. Maka dengan jumlah itu, rata-rata 17 kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Namun tetap saja, kekerasan yang terjadi pada perempuan hari ini adalah bentuk penindasan yang mengkhawatirkan.
Pada 2022 sendiri, Komnas Perempuan mencatat terbitnya 20 kebijakan yang memuat diskriminasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perempuan. Kebijakan diskriminatif ini masih menggunakan pola pengaturan yang sama, yaitu potensi kriminalisasi, kontrol terhadap tubuh perempuan melalui pembatasan hak berekspresi dan berkeyakinan, serta pembatasan kehidupan beragama yang berdampak pada pembatasan dan atau pembedaan atas dasar agama.
Beragam upaya terus digencarkan oleh pemerintah dan para feminis Indonesia untuk kembali menegakkan hak-hak perempuan agar tetap berdaya. Keberadaan feminisme yang identik dengan pergerakan reformasi dalam upaya menuntut kebebasan dan keadilan bagi wanita menjadi perkara penting dalam perjalanan perempuan Indonesia dewasa ini.
Bukan perkara benar atau salahnya, bukan tentang sistem mana yang paling kuat dan berkuasa, tapi tentang seberapa fungsionalnya penerapan sistem sosial tersebut. Bila patriarkisme sudah lebih dulu terdengar nyaring dalam hierarki masyarakat, bukan berarti feminisme tidak punya tempat dalam mengambil peran. Kita bergerak dalam aturan-aturan yang nyata. Disfungsi pemikiran akibat keserakahan oknum yang haus validasi kekuasaan harusnya tidak dapat memecah belah intelektual bangsa untuk dapat berpikir jernih dan berhenti memperdebatkan kedudukan sistem sosial mana yang lebih cocok diterapkan di Indonesia.
Patriarkisme ataupun feminisme, semuanya ditetapkan di posisinya masing-masing dengan peran dan urgensinya sendiri. Tupoksi yang berbeda, namun dapat melengkapi satu sama lain, jika kecenderungan memihak ke salah satu gender dapat dinetralisir sewajarnya. Kini bukan waktunya memperdebatkan tentang siapa yang paling baik, ini saatnya kita sama-sama berdaya dan memberdayakan. Bersama, menegakkan kembali hak-hak perempuan dan lelaki sebagaimana yang seharusnya didapatkan setiap manusia.
(Perspektif / Novi Rahmawati)
Editor : Dinda Syahharani